Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah kecamuk krisis Eropa, juga ekonomi Amerika Serikat dan Jepang yang masih meriang, Indonesia pada 2012 barangkali merupakan salah satu pengecualian. Ekspor kita mungkin menurun, tapi sejumlah bahan tambang masih berkilau. Komoditas perkebunan tetap menarik. Konsumsi dalam negeri akan menjadi motor penggerak. Dengan penerimaan pajak yang masih dapat dipacu lebih tinggi, ekonomi Indonesia diramalkan terus tumbuh positif.
Situasi dalam negeri berbeda dengan keadaan global, yang jelas belum menggembirakan tahun depan. Ketika Amerika belum lepas dari jeratan krisis surat utang sektor properti pada 2008, datang cobaan baru yang tak kalah berat: krisis utang negara-negara Eropa. Bank Dunia sudah membuat tiga skenario atas krisis di Benua Eropa itu.
Indonesia beruntung. Dalam skenario terburuk pun, yang disebut severe global slowdown alias perlambatan global, ekonomi Indonesia diprediksi masih akan tumbuh minimal empat persen. Jika prediksi ini benar, artinya ekonomi kita akan tumbuh positif ketika ekonomi dunia kembali berguncang keras dan sejumlah negara mengalami pertumbuhan negatif alias penurunan. Guncangan ekonomi global mendatang ini mungkin setara atau bahkan lebih buruk dibandingkan dengan saat Lehman Brothers, perusahaan investasi global, bangkrut pada 2008 akibat timbunan utang US$ 613 miliar.
Kendati situasi ekonomi kita tak terlalu muram, tidaklah bijaksana terus bergantung pada kemurahan alam dan konsumsi domestik yang mendorong ekonomi kita selama ini. Di balik krisis Amerika dan Eropa, sesungguhnya tersembunyi peluang bagi Indonesia. Para investor dunia sedang mencari tempat aman untuk melabuhkan duit mereka. Sedangkan Indonesia perlu investasi untuk memperkuat produk dan pasar dalam negeri.
Maka secepatnya pemerintah mesti membereskan sejumlah persoalan "klasik": buruknya infrastruktur, ekonomi biaya tinggi, dan daya saing yang rendah. Lihat saja listrik yang masih sangat terbatas di sejumlah daerah. Pembangunan jalan tol, bandar udara, dan pelabuhan baru berjalan seperti siput.
Tahun depan, pemerintah harus berani bertindak drastis untuk meringankan beban anggaran. Pendekatan populis memanjakan kelas menengah dengan subsidi bahan bakar minyak dan listrik mesti ditinggalkan. Bila subsidi energi bisa dipangkas dari Rp 168,6 triliun seperti sekarang, penghematannya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur. Kebijakan populis hanya mewariskan beban di masa depan.
Dana pengurangan subsidi energi juga berguna untuk meringankan utang kita. Krisis Eropa memberikan pelajaran sangat penting: perlu ekstra-hati-hati mengelola utang. Sejauh ini, rasio utang Indonesia berbanding produk domestik bruto memang masih tergolong aman, yaitu 26 persen. Angka ini jauh lebih baik dibandingkan dengan Jepang, Amerika, dan sejumlah negara Eropa, yang rasio utangnya sudah melampaui 100 persen.
Secara terus-menerus, pemerintah kita sudah berhasil menurunkan rasio itu. Namun porsi pembayaran utang dalam anggaran kita masih sangat besar. Tahun depan, pemerintah harus membayar cicilan pokok plus bunga utang sebesar Rp 180 triliun. Jumlah itu lebih besar ketimbang anggaran Kementerian Pendidikan, Kementerian Pertanian, atau Kementerian Perindustrian.
Pada saat yang sama, utang baru diperkirakan mencapai Rp 134,5 triliun. Utang baru diperoleh dari penjualan surat utang negara. Indonesia bisa masuk perangkap utang, lantaran akibat utang itu kita tak bisa menyalurkan dana ke sektor produktif. Menurut bahasa sederhana, perilaku berutang pemerintah seperti gali lubang tutup lubang.
Perbaikan pengelolaan utang bisa dimulai dengan mengerem utang baru karena sesungguhnya banyak sektor yang daya serapnya rendah. Data menunjukkan, pada kuartal kedua 2011, realisasi penarikan pinjaman proyek hanya US$ 11,5 miliar atau 52,9 persen dari utang yang US$ 21,7 miliar. Kementerian Keuangan mencatat pula, pada 11 Agustus 2011, terdapat dana menganggur Rp 200 triliun akibat rendahnya daya serap instansi-instansi pemerintah.
Keberanian pemerintah mengerem penarikan utang baru, syukurlah, mulai terlihat. Kementerian Keuangan sudah membatalkan seluruh sisa lelang surat berharga negara akhir tahun ini. Alasannya, saldo kas pemerintah masih cukup besar untuk menutupi kebutuhan sampai akhir 2011, bahkan awal 2012.
Keluwesan mencairkan utang baru seperti itu perlu dipertahankan. Bank Dunia sudah pula mengingatkan perlunya sistem perencanaan keuangan yang lebih modern. Sistem itu diharapkan mampu membuat perencanaan dan penyerapan anggaran tepat waktu dan sasaran.
Dengan pengelolaan utang lebih baik, di tengah krisis global yang belum jelas ujungnya, banyak alasan untuk berharap ekonomi kita tetap tumbuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo