Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vedi R. Hadiz
kini mengajar di Department of Sociology, National University of Singapore
SUATU penelitian yang dilakukan oleh IPCOS baru-baru ini menunjukkan, bagian terbesar elite politik lokal Indonesia berlatar belakang wiraswasta yang telah mengalami "pendewasaan" di masa Orde Baru. Dengan kata lain, mereka adalah orang "baru tapi lama", sesuatu yang sebenarnya tidak mengherankan bila kita mengingat bahwa pada dasarnya Indonesia baru mengalami proses reformasi yang terbatas, bukan proses reformasi "total", apalagi revolusi, terlepas dari segala hiruk-pikuk dan perubahan penting sejak jatuhnya Soeharto, dua tahun lalu.
Konsekuensinya, banyak orang yang bertengger di posisi penting, dari tingkat pusat hingga lokal, masih merupakan orang yang sedikit banyak mempunyai kaitan dengan sistem patronase luas yang dibangun di masa Orde Baru, yang akhirnya berinduk pada Cendana, serta mempunyai jaringan hingga ke pelosok. Mungkin saja sebagian orang ini berasal dari lapis kedua atau ketiga sistem patronase Orde Baru tersebut. Tetapi, yang jelas, banyak di antara mereka ikut dibesarkan oleh rezim yang kini katanya hendak direformasi. Fenomena ini terutama menarik diamati di tingkat lokal karena ambruknya sistem kekuasaan yang sentralistis menyiratkan semakin pentingnya dinamika daerah yang tidak bisa dikontrol semaunya lagi oleh pusat. Amat menarik untuk dipertanyakan, siapakah elite-elite politik kita di tingkat lokal sekarang ini, dari mana mereka datang, dan peran apa yang mereka mainkan di masa Orde Baru. Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan iniyang baru sebagian dijawab oleh penelitian IPCOSmungkin akan membantu kita menduga posisi politik apa yang diambil oleh elite lokal ini dan praktek-praktek macam apa yang dapat diharapkan dari mereka. Bahwa sebagian besar elite lokal ini adalah orang baru tapi lama, tentu bukan serta-merta berarti tindak-tanduk mereka akan persis sama seperti di masa Orde Baru. Toh, jaringan patronase yang berpuncak pada Soeharto itu sudah tidak dapat memberikan perlindungan politik dan menjamin rezeki ekonomi seperti dulu. Dengan kata lain, semua orang baru tapi lama itu harus gesit menempatkan diri dalam suasana yang dalam banyak hal telah berubah dengan munculnya sistem multipartai, DPR/DPRD yang lebih aktif, serta pemilu yang jauh lebih menentukan dibandingkan dengan di masa lalu. Mereka juga harus pandai-pandai bertindak dalam suasana politik yang jauh lebih cair dewasa ini. Buat mereka, kemampuan melakukan ini adalah masalah survival ekonomi dan politik. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana seorang penyokong sekaligus klien Golkar telah berubah menjadi penyokong dan klien partai lainnya, aktivis ormas pendukung Orde Baru berbelok menjadi aktivis ormas pendukung reformasi, dan preman politik yang tadinya membuat keonaran untuk kepentingan Orde Baru melakukan hal yang sama untuk kepentingan kelompok politik lain. Demikian juga seorang kontraktor pemberi dana untuk Golkar dan penerima tender dari Departemen PU telah berubah menjadi pengusaha pemberi dana untuk partai lain, dengan harapan partai tersebut kelak memenangi kursi wali kota atau bupati. Malah, mungkin saja ia sudah menjadi anggota DPRD untuk partai itu, kalau penelitian IPCOS dijadikan acuan.Tujuannya? Barangkali tetap untuk memenangi tender atau setidaknya berada dalam posisi untuk menentukan alokasi sumber daya negara. Keadaan ini sebenarnya sudah menunjukkan beberapa perubahan yang cukup penting. Pada masa Soeharto, partai-partai (kecuali Golkar) dan DPR/DPRD hanya merupakan embel-embel belaka, tidak begitu menentukan dalam sistem patronase politik yang bertumpu pada Golkar dan birokrasi pemerintahan yang dikelola secara sentralistis. Dari sistem tidak formal inilah korupsi, kolusi, dan nepotisme menjamur dari tingkat paling atas hingga paling bawah, dari kota sampai desa, dan segala hal yang berhubungan dengan prinsip transparansi dalam urusan pemerintahan ataupun bisnis menjadi tidak relevan dengan kehidupan nyata. Malah, negara beserta segala institusinya diperalat untuk kepentingan sejumlah elite kecilsuatu oligarki ekonomi dan politik yang tak terjamah oleh rakyatseakan-akan institusi negara menjadi milik pribadi. Namun, banyak hal pula yang mungkin tidak berubah sebagaimana yang diharapkan oleh para mahasiswa yang dua tahun lalu mempertaruhkan nyawa untuk reformasi. Yang terutama dikhawatirkan belum berubah adalah pola membangun aliansi yang melibatkan unsur penguasa politik, birokrat, ataupun pengusaha guna menentukan bagaimana sumber daya negara akan dialokasikan di antara mereka sendiri. Kalau dulu instrumennya terutama Golkar, yang sama saja dengan birokrasi, sekarang kemungkinan besar adalah berbagai partai yang bisa dipakai untuk menguasai birokrasi, serta parlemen yang membuat perundangan serta berfungsi untuk memilih penyelenggara badan eksekutif. Tapi, hasilnya tetap tidak memenuhi tuntutan akan transparansi dan kejujuran dalam penyelenggaraan urusan negara. Bahkan, hasilnya mungkin saja institusi negara, seperti kantor wali kota, dijadikan instrumen untuk berbisnis oleh kelompok-kelompok yang gerak-geriknya masih tidak diketahui rakyat. Bisa jadi negara dan institusinyadi tingkat pusat atau lokalseperti dulu, menjadi alat untuk memajukan kepentingan pribadi atau kelompok belaka. Lebih jauh lagi, dulu sistem patronase yang hadir bersifat tunggal dengan apex yang letaknya diketahui oleh setiap orang. Kini, sistem patronase yang mulai berkembang kelihatannya bersifat majemukbisa saja dengan banyak tumpang tindihdengan sejumlah apex yang juga belum begitu jelas tempatnya. Dalam hal tertentu, ini mencerminkan desentralisasi kekuasaan yang telah terjadi sejak kejatuhan Soeharto, dengan munculnya pusat-pusat kekuasaan yang saling berkompetisi dalam merebut lahan. Tapi, bukankah Indonesia sudah tergolong negara demokratis, yang berarti kedaulatan berada di tangan rakyat? Tampaknya ini bukan merupakan jaminan. Toh, kita mengetahui bahwa negara tetangga seperti Thailand dan Filipina sudah agak lama memiliki sistem yang dianggap demokratis, tapi pola kekuasaannya tetap diwarnai oleh money politics atau bertenggernya oligarki-oligarki lokal, lengkap dengan pasukan preman politik (mirip satgas partai di Indonesia, yang konon sudah dipakai oleh pengusaha untuk menindas buruh). Di negara tetangga ini, kekuasaan yang terdesentralisasi tidak selalu memberdayakan rakyat, tetapi kadang kala menopang kekuasaan raja-raja kecil yang mengendalikan alat politik, ekonomi, ataupun pemerintahan lokal. Perkembangan yang mengkhawatirkan sebenarnya sudah mulai diamati di Indonesia pada tingkat pusat, dengan banyaknya berita tentang kompetisi di antara partai-partai untuk menguasai institusi-institusi nasional yang strategis. Termasuk di antara institusi ini adalah BPPN ataupun berbagai BUMN yang entah akan diprivatisasi atau tetap diharapkan menjadi lahan kontrak. Masalahnya, penguasaan atas institusi tersebut dapat menjadi landasan untuk membangun aliansi ekonomi dan politik baru yang menuju pada kekuasaan berpola oligarkis. Sebenarnya, perkembangan tingkat daerahdengan banyaknya laporan belakangan ini mengenai money politics tingkat lokaljuga patut memunculkan kekhawatiran yang sama. Apalagi dengan akan diberlakukannya undang-undang otonomi daerah serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, tahun depan. Pengurangan kekuasaan dan wewenang pemerintah pusat yang begitu dominan di masa lalu memang sudah sewajarnya dilakukan. Tetapi, kita harus ingat pula bahwa otonomi daerah dapat sekadar menjadi sarana pengembangan aliansi ekonomi dan politik lokal yang kelak menghasilkan sejumlah Orde Baru kecil. Alhasil, sistem formal bisa banyak berubah, tetapi beberapa pola mendasar tampak bertahanwalau dalam bentuk agak localizeddengan sebagian aktor dan kekuatan lama tetap memainkan peran yang menentukan. Agaknya, demikianlah risiko tidak terjadinya "reformasi total". Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |