Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adrianus Meliala
Kriminolog UI
KERUSUHAN Glodok minggu lalu, betapapun pahit, menyiratkan hikmah bahwa niat baik saja terkadang tidak cukup. Agar niat itu berakhir dengan hasil yang baik pula, perlu ditempuh cara dan proses yang tertentu. Semoga hal itu telah dicamkan oleh kalangan kepolisian. Sebab, bila tidak, di masa mendatang dapat saja terulang kembali kerusuhan yang diawali oleh kegiatan polisi (police-incited riot) seperti di Glodok itu.
Ironis, memang, melihat kerja polisi yang seharusnya menciptakan kondisi tertib hukum (law and order), tapi malah secara tidak sengaja menyimpang dari harapan, dan berakhir dengan kerusuhan. Ia bisa dikatakan tanpa disengaja, bila kondisi chaos memang sesuatu yang diam-diam diinginkan. Steve Platt (1993) secara sinis menyebutnya sebagai police riot atau kerusuhan para polisi. Jadi, yang sebenarnya tengah dilanda gejolak dan dianalogikan seperti kerusuhan adalah aspek intern kepolisian sendiri. Kondisi itulah yang lalu memungkinkan munculnya pikiran "gila" untuk main serang atau main libas tatkala menangani demo, ketika hendak menangkap penjahat, atau saat mengatur lalu lintas. Untuk kategori police riot ini, Polri memang memiliki catatan yang tidak terlalu bersih. Pada zaman Orba dulu, misalnya, Polri termasuk operator penyerbuan markas PDI, pada 27 Juli 1996. Pada zaman reformasi ini, personel-personel Polri di Medan beberapa minggu berselang menyerang kampus Universitas Nomensen dan mengakibatkan dua mahasiswa tewas. Kedua peristiwa itu berlangsung dan berakhir rusuh, sebagai sesuatu yang "seharusnya terjadi" demi tujuan polisi. Sementara itu, untuk kategori police-incited riot, agak susah menunjuk contoh kasusnya. Bisa dibilang, lebih gampang bagi kita melihat kinerja Tramtib di DKI dalam hal penciptaan kerusuhan menyusul penertiban yang dilakukannya. Mengapa terjadi demikian, mengingat kepolisian sebagai suatu organisasi yang kompleks sebenarnya telah memiliki fungsi-fungsi sedemikian rupa guna mencegah suatu kegiatan kepolisian berakhir gagal atau berhasil, dan juga bertugas memberikan aneka informasi sebelum suatu kegiatan yang bersifat terbuka (entah itu razia SIM, penggerebekan pengedar narkoba, atau sweeping seperti di Aceh) dilakukan? Struktur dan pembagian kerja antarsatuan secara struktural juga salah satunya berfungsi untuk mempertahankan mutu kerja. Bila satuan bawah tidak mampu menangani suatu masalah, entah karena terlalu kompleks atau karena kualifikasi personel tidak cukup, satuan atas kemudian mengambil alih. Begitu seterusnya. Dikembalikan ke konteks kerusuhan Glodok, justru hal itu yang tak terlihat. Tak terlihat, misalnya, dukungan antarsatuan fungsi untuk segera menutup eskalasi yang mungkin terjadi apabila operasi reserse menyita VCD bajakan memperoleh perlawanan massa. Buktinya, kawasan itu ditinggal kosong (dan menjadikan massa berkesempatan memprovokasi) setelah polisi menggaruk VCD bajakan. Perihal dukungan antarsatuan dalam hirarki juga sama anehnya. Mabes Polri "rela" berkotor tangan melakukan sesuatu yang seharusnya cukup dilakukan aparat Polres Jakarta Barat sebagai penguasa yurisdiksi kawasan Glodok. Adakah ini diakibatkan oleh gonjang-ganjing atau kekisruhan dalam tubuh Polri sendiri? Hubungan yang langsung tentu tidak diketahui secara pasti. Namun, fakta bahwa banyak hal tidak berfungsi secara benar ataupun tidak berjalan optimal di kepolisian sungguh terlalu jelas untuk disembunyikan. Hal lain yang menarik dari konteks Glodok adalah adanya adu pernyataan yang membuat bingung publik. Bila pejabat Polda Metro mengatakan bahwa tidak ada koordinasi sebelumnya, pejabat Mabes Polri mengatakan sebaliknya. Apa pun debat kusirnya, perlu dicamkan bahwa kecuali fungsi reserse tatkala menjalankan tugas penegakan hukum, semua kegiatan kepolisian seharusnya berorientasi pada hasil akhir (end result approach). Dari itu semua, mohon diperhatikan bahwa publik sebenarnya sama sekali tidak memiliki akses guna ikut memperbaiki keadaan menyusul fenomena operasi yang tanpa koordinasi, pelaksanaan operasi yang menyimpang secara fungsi dan struktur, serta silat lidah para jenderal polisi yang tidak ingin dipersalahkan. Padahal, di pihak lain, publiklah paling dirugikan akibat tidak optimalnya kinerja lembaga pemberi jasa keamanan massal seperti kepolisian. Maka, menyusul kasus Glodok ini, terasa kembali relevan untuk menguji kesungguhan Polri perihal membuka diri terhadap "eksaminasi" publik. Kesediaan inilah yang, sayangnya, sama sekali belum tampak di tengah upaya Polri mereformasi diri sejak setahun terakhir ini. Kontrol publik tersebut antara lain dapat dilakukan melalui lembaga pengaduan keluhan (public complaint board) atau ombudsman khusus kepolisian. Sementara lembaga pengaduan keluhan lebih mengurusi kasus yang bersifat teknis dan berskala kecil, ombudsman seyogianya dapat lebih menjelajah ke hal-hal yang menyangkut etik dan berskala besar. Bila kedua lembaga itu bertugas memonitor dan menangani penyimpangan kinerja sebagai hasil atau implementasi suatu kebijakan kepolisian, sebetulnya terdapat pula satu jalur lain dari akses publik. Jalur itu adalah ketika suatu kebijakan kepolisian tengah dipikirkan dan dirancang. Dengan menengok pengalaman banyak negara, maka wadah bagi keikutsertaan publik dalam merancang kebijakan kepolisian adalah komisi kepolisian (police commission). Dengan ilustrasi kasus Glodok, publik sebenarnya dapat memberi pemikiran lain ketika model razia hendak diterapkan oleh Polri dalam rangka memberantas pembajakan VCD atau aneka pelanggaran lainnya. Dari segi keefektifan, misalnya, model ini tidak mampu mencegah kambuhnya suatu penyimpangan. Tetapi, keterbatasan ruang gerak Polri (akibat terbatasnya anggaran dan lain-lain) mungkin saja membuat wakil publik tadi maklum akan pilihan tersebut. Sebaliknya, wakil publik tentu akan mencegah dipilihnya model razia semata-mata karena preferensi Polri yang masih kental sifat paramiliteristisnya. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |