Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT sekali melepaskan rasa masygul selama mengikuti ”sirkus politik” perjalanan Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang Hak Angket Bank Century, yang berakhir pekan lalu. Selama lebih dari dua bulan, Dewan yang seyogianya arif dan fadil itu mempertontonkan pelbagai aspek hiburan yang sering justru tidak menggembirakan.
Dengan perbandingan suara 325 melawan 212, voting yang digelar Sidang Paripurna Dewan akhirnya memenangkan kubu yang mempersalahkan langkah penyelamatan Century. Mulai proses merger hingga tindakan pengucuran dana bailout senilai Rp 6,7 triliun dianggap tidak sesuai dengan aturan. Sidang Paripurna kemudian merekomendasikan pengusutan terhadap pihak yang bertanggung jawab oleh aparat penegak hukum.
Harus diakui, ada sesuatu yang salah dalam perjalanan bank yang dikelola dengan cara serampangan ini. Tapi membebankan kesalahan terhadap kebijakan penyelamatan di tengah ancaman krisis merupakan tindakan tak adil. Apalagi kini terbukti bahwa krisis ekonomi bisa dielakkan, anggaran negara tak perlu menanggung beban ratusan triliun rupiah seperti yang terjadi pada 1998. Keputusan DPR menyalahkan penyelamatan itu bisa menjadi anteseden buruk di masa depan, terutama bagi para pengambil keputusan yang harus bertindak langkas pada saat gawat.
Jika dirunut ke akar soal, tampaklah titik lemah bank sentral dalam pengawasan terhadap bank yang buruk tingkah. Andai pengawasan ketat dan rapat, sesungguhnya Bank Century tidak akan berhasil mencuri kesempatan berbuat onar. Pada titik ini, timbullah pertanyaan tentang mekanisme pengawasan terhadap bank sentral—yang dalam sidang-sidang Panitia Khusus sepertinya terlupakan.
Undang-Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, yang diubah dengan Undang-Undang No. 3/2004, menentukan Bank Indonesia sebagai lembaga independen yang melaporkan kerjanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Selain laporan tahunan dan triwulanan, Dewan bisa meminta penjelasan sewaktu-waktu jika menemukan hal mencurigakan.
Kegagalan pengawasan oleh bank sentral, pada gilirannya, harus dipulangkan kepada fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap lembaga pengelola sistem moneter itu—seperti amanat undang-undang. Mengingat kasus Bank Century bukan kasus mendadak sontak, patut dipertanyakan sejauh mana Dewan Perwakilan Rakyat melaksanakan fungsi pengawasannya, sebelum mengangkat ”Centurygate” ke panggung politik nasional.
Pertanyaan berikutnya adalah tentang panorama koalisi setelah keputusan Sidang Paripurna. Bagai bersuluh di siang terang, tak ada gunanya menafikan keretakan di tubuh koalisi, yang dengan penuh kepercayaan dibangun oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta Partai Demokrat yang dipimpinnya. Peta perimbangan politik kini nyaris berubah total. Pengingkaran mengambil bentuknya yang paling verbal di bawah eufemisasi ”dinamika” dan ”mencari kebenaran”.
Siapa pun sepakat, Yudhoyono memang terlambat mengambil tanggung jawab. Rasa percaya diri yang kelewat besar membuat presiden pilihan rakyat itu seperti berserah penuh pada prosedur hukum formal, yang sering kali dikalahkan oleh jalan pintas dan intrik politik kepentingan sesaat. Karena itu, belum terlambat bagi Yudhoyono untuk meninjau kembali profil koalisi dengan jernih dan realistis, paling tidak dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan yang bersih selama empat tahun ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo