ENDIN Wahyudin akhirnya harus duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hari-hari ini. Dia adalah saksi yang melaporkan adanya praktek suap di lingkungan pengadilan oleh tiga hakim agung kepada Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jaksa Agung (ketika itu) Marzuki Darusman sempat menyatakan akan membebaskan Endin dan setiap saksi yang mau melaporkan KKN di lingkungan pengadilan. Namun, kenyataannya, Endin tetap diadili. Ironisnya, tiga hakim agung yang dilaporkan?ketiganya sudah pensiun?tak tersentuh tangan hukum.
Setidaknya ada dua alasan mengapa kasus ini bisa kita sebut memprihatinkan. Yang pertama, alasan hukum. Indonesia tidak punya undang-undang perlindungan saksi. Akibatnya, seorang pelapor malah bisa dijadikan tersangka. Katakanlah Endin juga bersalah karena menyogok?jumlahnya kabarnya Rp 196 juta untuk tiga hakim agung?tapi sulit dibenarkan mengapa dia dulu yang diadili dan bukan hakim-hakim yang menikmati sogokan itu yang diperiksa. Di kemudian hari, orang akan jera melaporan kasus suap atau korupsi. Upaya pemberantasan korupsi yang selama ini sudah sulit karena ditangani aparat yang "kotor" jadi makin sulit dilakukan. "Korban" pemerasan hakim atau jaksa cenderung pasrah, tutup mulut, daripada kena tuntut pencemaran nama baik oleh aparat yang berkuasa.
Seolah-olah dunia peradilan Indonesia dikuasai "mafia". Kasus Endin ini membuktikan bahwa aparat penegak hukum, jaksa, hakim, dan pengacara seperti bersatu dalam sebuah solidaritas menolak pemeriksaan hakim agung tadi. Dalam bahasa pengacara Mulya Lubis, ada "perlawanan" terhadap upaya pembongkaran praktek korupsi, sekaligus intimidasi terhadap warga masyarakat yang berani melaporkan korupsi yang dialaminya di lingkungan peradilan. Mungkin "mafia" di sini bukan organisasi dengan struktur jelas, tapi "mafia" di sini jelas dipersatukan oleh satu kepentingan jelas: uang. Apa boleh buat, tradisi bagus yang dimulai oleh Endin dengan melapor ke Tim Pemberantasan Korupsi?diketuai Adi Andojo dan kini Krissantono?pupus begitu saja.
Alasan kedua, kasus ini ternyata sangat diwarnai "perang" kepentingan dua lembaga hukum kuat di negeri ini, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung?begitu informasi yang diterima majalah ini. Jaksa Agung Marzuki Darusman, yang pernah menjanjikan jaminan bebas bagi Endin, rupanya tak berdaya. Marzuki pernah menjanjikan Endin akan dituntut bebas di pengadilan, tapi "tekanan" MA cukup ampuh rupanya. Kalau Endin tak dihukum karena "mencemarkan nama baik hakim agung," sejumlah kasus di Mahkamah Agung bisa saja mendadak "macet" atau bebas. Nah, di MA jelas masih tersimpan kasus Soeharto, Tommy, dan banyak lainnya. Bahkan, sangat mungkin kasus hilangnya putusan kasasi MA soal PT Timor pekan lalu berkaitan dengan tarik-menarik itu. Jika itu terjadi, percuma saja kerja kejaksaan yang susah payah mengusut perkara-perkara tadi. Seandainya ini benar, Endin jelas cuma pelanduk yang terinjak-injak dua gajah yang bertarung.
Maka, undang-undang perlindungan saksi jelas mendesak. Dan itu pun harus disertai jaminan keringanan bagi sang pelapor. Jika sang pelapor ikut terlibat kasus korupsi, mungkin ia bisa didenda tapi bebas kurungan bila kasus yang dilaporkannya benar dan menyangkut duit besar. Tanpa jaminan ini, juga jaminan keamanan, jangan harap kita bisa mulai membabat rimba raya korupsi di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini