Mudah-mudahan ini sudah menjadi puncak terburuk wajah negeri ini, ketika pihak eksekutif yang dikomandani Presiden berseteru dengan lembaga legislatif, yaitu DPR. Semula, puncak keburukan itu diduga ketika Presiden menghentikan konsultasi rutinnya dengan pimpinan DPR, seperti dua anak kecil yang rebutan kelereng: bertengkar lalu saling diam. Eh, masih ada puncak buruk yang lebih tinggi, saling mengancam, adu kekuasaan, dulu-duluan bilang lawannya melanggar hukum atau undang-undang. Dan kini, ya ampun, menyerempet persoalan yang sangat sepele, urusan yang hanya dipikirkan oleh pembantu rumah tangga, mesin cuci dan renovasi WC.
Mesin cuci yang dianggarkan untuk setiap anggota DPR itu berharga Rp 6 juta sebuah, mungkin mesin cuci termahal di Indonesia untuk ukuran sejenisnya, 7 kilogram. Entah siapa yang berinisiatif membocorkan anggaran ini, tiba-tiba keluar opini ke masyarakat, mesin cuci itu seolah-olah sudah ada dan diterima anggota DPR. Padahal, ini baru anggaran dan belum ditenderkan, jadi harganya belum pasti. Menurut anggota DPR, yang tentu saja dengan maksud membela diri, anggaran rumah tangga DPR itu sudah disetujui di zaman Presiden Habibie.
Semestinya, pembelaan itu sudah cukup, tak usah diperpanjang. Untuk kesekian kalinya, pihak DPR sudah "menang" melawan Presiden. Namun, karena yang bertengkar ini "dua anak kecil yang rebutan kelereng", ada anggota DPR yang membalas dengan mengungkit-ungkit renovasi WC di Istana Merdeka, yang menelan biaya Rp 385 juta. Biaya renovasi WC ini memang temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Karena tak dirinci apa saja yang direnovasi, rakyat kecil memang sulit membayangkan, WC jenis apa pula itu.
Jika ini dimaksudkan sebagai sebuah koreksi agar uang rakyat jangan diboros-boroskan, sebenarnya sah saja dan baik dampaknya. Siapa tahu, WC ratusan juta itu bukan kehendak Presiden Abdurrahman Wahid, dan belum tentu pula biayanya sebesar itu kalau diperiksa dengan kaca mata yang bersih. Sama halnya dengan mesin cuci anggota DPR, ternyata harga di pasar sekitar Rp 4 juta saja. Namun, karena niat mengungkit-ungkit itu untuk saling menjatuhkan, untuk memberi tahu kepada rakyat siapa sebenarnya yang paling buruk dan yang paling baik, masalahnya menjadi sangat norak. Kalau memakai bahasa yang lebih merakyat, ibaratnya yang bertengkar itu para majikan, tetapi yang jadi obyek pertengkaran urusan pembantu. Tanpa berniat merendahkan para pembantu yang tetap menjadi pilar penting keluarga para pejabat tinggi dan masih tetap polos?belum terdengar pembantu rumah tangga berdemo membawa bendera dan bom molotov?perseteruan antara Presiden dan DPR ini sudah sampai pada puncak kevulgaran. Kejayaan Sriwijaya, kemasyhuran Majapahit, negeri yang ramah sopan santun, tiba-tiba terpuruk begitu dalam. Monumen yang ditinggalkannya tak lain dari contoh buruk sebuah perilaku murahan, kekerasan, keonaran, rasa dengki, bukan candi yang agung atau karya sastra bermutu tinggi.
Ke manakah para empu, para pujangga, para rohaniawan masa kini? Kenapa mereka tak bisa menjaga jarak dengan "dua anak bertengkar kelereng itu", lalu melerainya dengan nasihat yang bijak? Tragis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini