Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Mahkamah Agung mengakhiri kebijakan privatisasi air bersih di Jakarta harus segera disusul perubahan tata kelola air secara mendasar. Ini bisa jadi momentum bagi pemerintah DKI Jakarta untuk membenahi berbagai masalah kronis dalam pengelolaan air bersih di Ibu Kota.
Keterlibatan perusahaan swasta (privatisasi) dalam pengelolaan air bersih di Jakarta memang bermasalah sejak awal. Dimulai pada 1997, Perusahaan Daerah PAM Jaya setengah dipaksa berkongsi dengan PT Pam Lyonnaise Jaya (Palyja) dan Thames Pam Jaya-kini PT Aetra Air Jakarta. Pemilihan kedua perusahaan dengan modal asing itu dilakukan tanpa lelang terbuka. Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta pun dilangkahi. Bukan rahasia kalau ada nama anak kedua Presiden Soeharto, Sigit Harjojudanto, dan konglomerat Anthoni Salim di balik mitra-mitra swasta itu.
Walhasil, privatisasi air di Jakarta memang sudah cacat sejak lahir. Klausul kontrak kerja sama dengan Palyja dan Aetra berat sebelah, merugikan pemerintah DKI. Misalnya, ada pasal yang menjamin mitra swasta selalu untung dalam kondisi apa pun. Sebaliknya, DKI terbebani kewajiban menomboki kerugian swasta, termasuk ketika ada bencana atau shortfall (defisit karena pendapatan dari tarif air tak menutupi biaya produksi dan investasi). Tak mengherankan jika PAM Jaya terus merugi. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan, hingga Desember tahun lalu, kas PAM Jaya defisit sampai Rp 1,4 triliun.
Yang juga menjadi soal, biaya selangit itu tak dibarengi perbaikan kualitas layanan air bersih untuk warga Jakarta. Warga harus membayar tarif air bersih yang sama atau lebih mahal dari warga Singapura atau Hong Kong dengan kualitas air yang lebih rendah. Di sini, warga tak bisa langsung meminum air dari keran tanpa risiko kesehatan.
Karena itu, putusan majelis hakim agung yang mengaitkan sengkarut pengelolaan air Jakarta dengan pelanggaran hak asasi manusia sudah tepat dan patut diapresiasi. Hak memperoleh air bersih dan sehat memang merupakan hak mendasar setiap orang, tanpa terkecuali. Sesuai dengan kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya, negara wajib memastikan rakyatnya memperoleh air bersih yang cukup, aman dari penyakit, serta terjangkau secara lokasi dan harga.
PAM Jaya dan dua mitra swastanya sesungguhnya punya waktu 20 tahun-sejak kerja sama mereka pertama kali diteken-untuk memastikan hak asasi warga terpenuhi dengan merata. Sayangnya, kesempatan itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Kini semua sudah terlambat: Mahkamah Agung menyatakan kerja sama privatisasi air di Jakarta merupakan perbuatan melawan hukum dan harus dihentikan.
Setelah menerima berkas kasasi, pemerintah DKI Jakarta dan PAM Jaya tak usah ragu menjalankan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap itu. Tak perlu mundur hanya karena ada ancaman gugatan balik dari para mitra. Apalagi gerakan mengakhiri privatisasi air ini bukan monopoli Jakarta, melainkan sudah meluas ke berbagai negara.
Sampai pertengahan tahun ini saja, setidaknya sudah ada 180 kota di 35 negara yang berhasil mengembalikan pengelolaan air bersih ke tangan pemerintah kota mereka. Artinya, upaya pengembalian pengelolaan air bersih ke tangan negara (remunisipalisasi) saat ini sudah menjadi gerakan global.
Pemerintah DKI Jakarta harus cepat mencari model baru pengelolaan air pasca-putusan Mahkamah. Sudah terlalu lama warga Ibu Kota kehilangan haknya mendapatkan air bersih dengan harga murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo