Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANK Muamalat limbung ditimpa sejumlah masalah. Bank syariah pertama di Indonesia ini sejak berdiri mengabaikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, dan berjalan tanpa pengawasan ketat.
Lemahnya pengawasan terjadi karena begitu banyak jumlah pemegang saham pada masa awal Muamalat berdiri. Akibatnya, tidak ada pemilik mayoritas yang memastikan perusahaan beroperasi dengan benar. Manajemen bank praktis tidak berada di bawah kendali pemegang saham. Situasi ini menyuburkan praktik kolusi dan kecerobohan.
Berdirinya Bank Muamalat pada 1991 tidak bisa lepas dari konteks politik saat itu. Bukan sekadar tujuan mulia "mendorong industri perbankan syariah di Indonesia", kehadiran Muamalat sebagai perusahaan terbuka merupakan wujud akomodasi kelompok Islam. Didukung Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia dan sejumlah pengusaha muslim, Majelis Ulama Indonesia memprakarsai berdirinya bank ini. Masyarakat ikut urunan menanam modal. Struktur kepemilikan tanpa pemegang saham mayoritas ini melemahkan fungsi pengawasan.
Situasi ini diperparah oleh manajemen yang tidak jeli membaca arah angin dan lemah menganalisis risiko. Bank syariah ini jorjoran menyalurkan kredit korporasi, terutama ke perusahaan pertambangan. Di masa lalu, porsi pembiayaan korporasi ini hampir 80 persen.
Ketika harga batu bara lunglai, kredit bermasalah di sektor pertambangan ikut mengerek tingkat kredit bermasalah bank ini. Pada akhir 2015, rasio pembiayaan bermasalah Muamalat sempat menyentuh angka 7,1 persen, sebelum turun menjadi 4,8 persen pada akhir tahun lalu. Namun kredit macet di sektor pertambangan bukan semata-mata penyebab Muamalat membutuhkan dana segar.
Persoalan di Muamalat sudah mengakar bertahun-tahun, jauh sebelum Islamic Development Bank, Atwil Limited, dan Bank of Kuwait menjadi pemegang saham. Meski di bawah sistem pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, kesulitan yang membelit Muamalat sukar dicegah. Sebab, tak ada pemilik yang memelototi kinerja manajemen bank ini.
Di tengah rencana PT Minna Padi Investama Sekuritas membeli 51 persen saham Muamalat, OJK harus memastikan transaksi berlangsung akuntabel dan transparan, bukan sekadar aksi goreng saham yang menguntungkan segelintir spekulan. Kasak-kusuk yang bergulir di pasar modal sejak akhir Juli telah melejitkan saham Minna Padi 370,59 persen hingga Rabu pekan lalu. Padahal rencana pembelian saham Muamalat baru diumumkan akhir September.
Bank Muamalat dan Minna Padi seharusnya berterus terang mengungkapkan pemodal di belakang mereka. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27 Tahun 2016 menyebutkan bank wajib melaporkan rencana perubahan struktur kelompok usaha-termasuk badan hukum pemilik bank sampai ultimate shareholder-paling lambat satu bulan sebelum terjadi perubahan. Dana yang disiapkan untuk "menyehatkan" Muamalat mencapai Rp 4,5 triliun.
Loyonya Bank Muamalat adalah bukti gagalnya korporasi yang didirikan berdasarkan tindakan afirmatif mengatasnamakan agama. Kebijakan yang memberikan keistimewaan kepada kelompok tertentu tidak akan berjalan efisien dan bertolak belakang dengan mekanisme pasar di sektor keuangan.
Pemerintah harus belajar dari persoalan serius yang membelit Muamalat. Jangan sampai ada lagi lembaga finansial yang berdiri berdasarkan tindakan afirmatif atas nama faktor primordial. Sentimen seperti ini rentan menciptakan moral hazard di sektor perbankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo