BANYAK orang yang terperangah ketika pecah berita hengkangnya Tanri Abeng dari Multi Bintang ke Bakrie Brothers. Berita itu telanjur menjadi topik yang menarik untuk dikaji. Seorang ekonom, misalnya, secara pribadi bilang bahwa uang hengkang itu terlalu besar. Masa, Tanri Abeng bernilai satu milyar rupiah? Menurut ekonom tersebut, dari kaca mata untung-rugi (cost and benefit analysis), uang sebesar satu milyar rupiah tersebut bisa jadi satu disinvestment ketimbang investment. Sebenarnya, sudah lama soal hengkang itu menggejala, malah jauh sebelum berita tentang Tanri Abeng. Dan yang hengkang itu bukan saja kaum manajer, tetapi profesi juga lain, walau tidak diberitakan media massa. Pernah ada sejumlah wartawan hengkang dan mendirikan penerbitan baru. Juga pernah ada kantor konsultan hukum yang terpaksa gulung tikar karena hampir semua konsultannya hengkang. Sebab, si karyawan membawa serta berkas dan klien-klien kantor asalnya. Tapi, lucunya, banyak orang menganggap hengkang itu lumrah dan tidak perlu dipersoalkan. Prihatin boleh, tetapi belajarlah menerima semua ini sebagai realitas bisnis, yang cepat atau lambat akan singgah di semua persekutuan bisnis. Bukankah wilayah garapan bisnis tidak berkurang? Deregulasi ekonomi akan merangsang investasi baru, dan ini berarti peluang bisnis baru bagi siapa saja, termasuk para konsultan. Bertambahnya kantor konsultan tidak akan mengurangi peluang bisnis yang bakal lahir akibat deregulasi. Jadi, berhentilah bicara tentang hengkangnya para manajer, wartawan, atau konsultan. Lagi pula, masyarakat tidak proes. Para pengusaha memasang iklan di penerbitan baru tadi. Para pengusaha tetap saja menggunakan jasa para konsultan yang hengkang. Tidak terbersit rasa rikuh. Semuanya normal. Sampai di sini, batas antara hengkang dan tidak hengkang menjadi nisbi. Padahal, hengkang ini bisa berarti pelanggaran kontrak (breach of contract) dan etik. Harus diingat bahwa yang hengkang itu bukan saja orangnya, tetapi juga keahlian dan keterampilan yang sudah diinvestasikan oleh tempatnya bekerja. Di Amerika ada semacam etik bisnis yang sudah jadi hukum kebiasaan. Etik itu melarang si hengkang tadi melakukan pekerjaan sejenis, karena dikhawatirkan akan merugikan prospek bisnis dari kantornya sebelumnya. Misalnya, bisa-bisa jaringan pemasaran perusahaan lama akan direbut. Kalau hal ini dilakukan orang hengkang, ia akan dituduh melakukan unfair methods of competition: suatu larangan yang kemudian diatur dalam Federal Trade Commission Act. Karena itulah dalam banyak kontrak kerja para manajer selalu terdapat klausul yang mengikat si manajer untuk tak bekerja di bidang usaha sejenis dalam suatu jangka waktu tertentu - antara 3 dan S tahun. Baru setelah jangka waktu itu lewat, mereka bisa kembali menggeluti bidang usaha semula. Dengan begitu, baru si manajer tidak bisa dituduh tak etis dalam bisnisnya. Jika hal ini dikaitkan dengan kasus-kasus di sini, maka para wartawan yang hengkang seharusnya tidak boleh menerbitkan majalah atau koran baru selama 3 atau 5 tahun. Para manajer bank tidak boleh hengkang ke bank lain, dan para konsultan harus istirahat sebagai konsultan untuk beberapa tahun. Sayangnya, etik bisnis ini belum tumbuh di negeri kita. Jadi, tidak aneh jika para wartawan, manajer, dan konsultan berkilah bahwa tidak ada breach of contract, karena memang tidak ada kontrak, atau kontraknya tidak jelas. Lalu di mana pelanggaran etik bisnis di sini? Seorang pemilik perusahaan terbilang besar di negeri ini pernah bilang, untuk apa ada kontrak kerja. Kalau si karyawan mau hengkang, kan tidak ada yang bisa menahan. Hengkang itu jangan terlalu dirisaukan, karena hengkang itu juga hak asasi. "Kalau hengkang ini diatur, nanti sopir dan pembantu rumah tangga tidak lagi bisa hengkang," katanya setengah bergurau. Ini tentu suatu gurauan yang serius, walau tidak sepenuhnya tepat. Sebab, hengkangnya manajer bank atau konsultan hukum tentulah tidak sama dengan hengkangnya sopir atau pembantu rumah tangga. Bukan karena sopir atau pembantu rumah tangga itu tidak kalah pentingnya. Tapi karena para manajer bank dan konsultan hukum ini berada dalam posisi yang amat mungkin melakukan unfair methods of competition--pada gilirannya akan merugikan pertumbuhan iklim bisnis yang sehat. Kalau itu dibiarkan, bisa-bisa praktek menghalalkan segala cara bisa dibenarkan pula nantinya. Mungkin ini suatu kekhawatiran yang berlebihan. Tetapi hal ini bukan mustahil menimpa banyak orang yang punya bisnis khusus. Seorang pemilik warung sate, misalkan saja namanya "Pak Kumis". Ia mempunyai resep khusus sehingga langganannya banyak. Kalau "Pak Kumis" ini buka bisnis di Amerika, ia bisa memperoleh hak paten atas caranya membuat sate. Tetapi di Indonesia, menurut RUU Paten yang tengah dibahas di DPR, cara membuat makanan dikecualikan dari perolehan hak paten, karena menyangkut kepentingan umum. RUU Paten, yang mengikuti model banyak undang-undang paten di Dunia Ketiga itu, menganggap cara membuat sate itu termasuk apa yang disebut trade secret atau "rahasia dagang" tidak dilindungi oleh UU Paten, tapi tak dibatasi jangka waktunya. Jadi, bergantung pada "Pak Kumis" untuk melindungi rahasia dagangnya itu. Pertanyaannya: bagaimana. kalau rahasia dagang ini bocor? Bagaimana kalau tukang masak "Pak Kumis" hengkang dan membuka warung sate baru dengan resep yang sama? Apa tukang masak itu bisa seenaknya hengkang dan mendirikan usaha sejenis dengan bekal resep sate bekas majikannya? Pertanyaan ini berlaku juga buat para wartawan, manajer, dan konsultan hukum yang hengkang. Jika jawaban pertanyaan itu tidak peduli, maka tulisan ini perlu ditutup dengan kalimat "kasihan Pak Kumis".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini