Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Etiopia

Raja di raja Haile selassie di kudeta tentara. Raja Etiopia itu waktu berkuasa pernah mencopot dan membunuh gubernur yang tak mau terima upeti, suap, dan korupsi. Bekas abdi dalam cerita tentang istana. (ctp)

10 November 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG memanggilnya Sang Negus. Kadang juga Raja di Raja, atau Yang Tak Bertara, atau lebih ringkas: H.S. Daiam abad ke-20, penguasa kerempeng di negeri Habsi itu seakan-akan sebatang pohon tua di gunung mur. Lalu ia digulingkan di tahun 1974. Bahkan hari-hari terakhir Haile Selassie terasa ganjil. Dikurung dalam kamar Istana Menelik di perbukitan, H.S. masih mengira ia tetap penguasa Etiopia. Kekuasaan yang demikian besar di tangan tampaknya telah membuat ia tak bisa bersentuhan lagi dengan dunia luar sebagaimana adanya. Keinginan telah menyulap kenyataan. Apalagi karena keinginan itu umumnya terkabul, cukup dengan berbisik. Ajaib memang, tapi benar. Dan barangkali karena itulah karya Rysard Kapuscinski tentang Haiie Selassie, The Ernperor (sebuah terjemahan dari bahasa Polandia), merupakan sebuah kisah yang tak jelas benar apakah dongeng apakah sejarah. Yang pasti, buku kecil itu menggerakkan kita - kadang dengan cara puitis kadang pula jenaka - ke dalam liku-liku suram sebuah kekuasaan. Novelis Salman Rushdie menyebut The Emperor seperti sebuah risalah Machiavelli yang ditulis kembali oleh pengarang non-realis Italo Calvino. Pada mulanya memang sejenis reportase: seorang wartawan datang ke Addis Ababa. Ini terjadi di hari-hari pertama setelah Sang Maharaja disingkirkan. Di malam hari, di ibu kota itu, sang wartawan mendengarkan cerita tentang kehidupan Istana. Semuanya dikisahkan oleh para bekas abdi dalem yang masih hidup - mereka yang kebetulan belum tertangkap dan ditembak mati oleh militer yang berontak. "Aku ingin merekam kembali dunia yang telah disikat habis senapan mesin Divisi Keempat," demikian tulis Kapusciriski. Dunia itu ternyata adalah dunia yang aneh tapi angker. Dengarlah cerita "F", misalnya. Sang Maharaja, katanya, punya seekor anjing kecil bernama Lulu. Ia selalu menyertai Baginda. Di saat-saat upacara, Lulu kadang meloncat dari haribaan tuannya, lalu kencing di atas sepatu pejabat yang hadir. Para pembesar yang agung itu tak boleh menghindar atau bergeser sedlklt pun ketika mereka merasa kaki mereka basah. Maka, tugas "F' itulah untuk membersihkan kencing anjing dari sepatu tuan-tuan besar yang tengah tegak sempurna di hadapan Sang Negus. Sang Negus sendiri menuntut sikap yang layak. Ia selalu berjalan dengan anggun bila ia merasa ada orang lain yang melihat nya. Padahal, di saat-saat bersendiri di kamarnya, raja yang kurus ini (beratnya cuma 50 kilo), yang sudah kempot dan tua ini hanya bisa berjalan dengan susah payah. Keagungan mcmang harus seperti kekal sebab mungkin itulah sumber kekuasaan. Maka, selain petugas khusus pembersih kencing Lulu, ada pula petugas peletak bantal di kaki Sang Gusti. Alasan: Haile Selassie begitu pendek kecil, dan kakinya biasanya terjuntai bila ia duduk di tahtanya yang luhur. Maka, bantal pun perlu, agar ia pas untuk dipandang. Sebab, memang dialah pusat pandangan di seluruh negeri. Datanglah pada Jam Penugasan, ketika seluruh kehldupan gementar. Para petinggi berduyun, berdebar, menunggu, mencuri pandang, mengharap. Haile Selassie sendiri yang akan memutuskan kedudukan mereka. Ia sendiri yang menunjuk menteri, gubernur, manajer hotel, bahkan kepala kantor pos. Ia Sang Penentu nasib. Tak heran bila Tam Penugasan adalah klimaks seluruh harap-harap cemas, juga kasak kusuk, gosip, info-info, dan fitnah-fitnah sesama pembesar. Dan H.S. tampaknya mendengar semua dengan senang. Tiap pagi, seraya berjalan dari kandang ke kandang hewan piaraannya, sambil memberi makan macan kumbangnya, ia mendengarkan laporan para informan. Pagi memang saat yang cocok untuk itu: siang hari ia bisa mengawasi sendiri para pejabat yang ia curigai, tapi malam hari - ketika orang bisa berkomplot - ia butuh mata-mata. Ia memang tak salah untuk sangat waspada. Di tahun 1960, sebuah komplotan orangorang penting mencoba memakzulkannya. Dan Anda tahu apa sebab? Karena ada seorang yang bernama Germame Neway: lulusan Amerika yang kemudian diangkat Sang Negus jadi gubernur. Hanya, gubernur yang satu ini aneh, dan menimbulkan risau: ia tak mau mencrima suap. Atau ia menerima upeti, tapi semua yang diterimanya disumbangkannya untuk membuat sekolah. Perbuatan semacam ini, bila diikuti gubernur lain, pasti akan menyebabkan keresahan. Germame pun dicopot, tapi ia mulai melawan .... Dengan menolak upeti, bahkan dengan berpikir lain dari pola yang umum di Etiopia, Germame memang telah melawan. Orang celaka! Maka, ia pun tewas. Yang aneh ialah bahwa ternyata perlawanannya menyebabkan orang tersadar dari tidur. Tak ayal, bahaya pikiran pun menyebar. Haile Selassie akhirnya copot. Ia dimakzulkan dan dikurung di Istana Menelik. Di sampingnya seorang abdinya nembaca Maz:mur keras-keras, agar Baginda, di saat kritis itu, tak mendengar teriakan marah rakyat: ". . . sebab kesusahan telah dekat/dan tidak ada yang menolong". Memang tak ada yang menolong. Di luar mereka Etiopia sibuk mempersiapkan sejarah baru, kekuasaan baru - dan siapa tahu penderitaan baru. Goenawan Mohamad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus