Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Indonesia, Obama lebih dari itu. Ia merupakan harapan baru untuk mengatasi krisis finansial global yang bersumber di negara adidaya itu. Ia harapan untuk menghentikan rangkaian pertunjukan politik yang menyesakkan di Gaza. Barack Obama menawarkan sesuatu yang telah lama hilang dari kehidupan kita: perhatian dan pengakuan dunia internasional untuk menyelesaikan masalah bersama.
Di Menteng Dalam, Jakarta, orang sibuk menapak tilas keberadaannya, seraya menghidupkan memori banyak sosok yang pernah bersilangan jalan dengannya berpuluh tahun silam. Maka kita pun ikut terhibur manakala tetangga, teman sekolah, pengasuh, ataupun guru sekolah Obama mengenang betapa "Indonesia" si kecil Obama. Kita senang karena Indonesia merupakan sekeping mozaik dalam kehidupan Obama. Dengan kata lain, Indonesia bagian dari orang nomor satu di negara adidaya Amerika sekarang. Bangga? Ironis? Yang terang, orang terhibur.
Obama tentu saja merupakan harapan bagi dunia yang tak berdaya menghentikan pembantaian penduduk sipil di Jalur Gaza, yang berujung pada tewasnya 1.350 orang dan 5.300 orang luka-luka. Berminggu-minggu ia menutup mulut atas tragedi Gaza hingga akhirnya sepotong pidatonya kembali memberi kita semangat: jangan-jangan ia benar-benar ingin mengubah kebijakan luar negeri Amerika.
Ia mengharapkan gencatan senjata yang berumur panjang. Tentu saja kita tak bisa bermimpi sikap Amerika terhadap Israel berubah dalam semalam. Seperti pendahulunya, George W. Bush, Obama membela Israel dan menyalahkan Hamas yang menurut dia "bertahun-tahun meluncurkan ribuan roket ke arah orang Israel yang tak berdosa". Ia tak bicara tentang korban tak berdosa di pihak Palestina, tapi ia mengatakan hati Amerika bersama warga sipil Palestina yang membutuhkan makanan, air bersih, dan layanan kesehatan. Ia menganjurkan Hamas menghentikan aksi lontaran roketnya. Tapi, berbeda dengan Bush, Obama tak berhenti di situ. Ia menyerukan penarikan mundur segenap pasukan Israel dari Jalur Gaza "agar pasokan bantuan dapat mengalir masuk".
Selasa lalu, hari pertama ia bekerja, Obama langsung bersinggungan dengan masalah konflik Timur Tengah yang kompleks: Israel yang sebentar lagi menyelenggarakan pemilu (saat kepentingan politik sesaat dapat mengalahkan kepentingan jangka panjang), Palestina yang tidak lagi di bawah kepemimpinan tunggal, dan masih banyak lagi. Sekadar catatan, Palestina yang terbelah merupakan buah keberhasilan politik divide et impera Israel, sekaligus juga keberhasilan sebagian masyarakat internasional mengisolasi Hamas-sesuatu yang sekarang mulai menjadi bumerang.
Begitu solusi diplomasi jadi prioritas ketimbang solusi militer, Hamas yang keras hati-mereka menolak meninggalkan perjuangan bersenjata dan menampik mengakui negara Israel-tak bisa dianggap angin. Harus diakui, Hamas pemenang pemilu tiga tahun lalu, dan ada harapan orang-orang moderat di dalam tubuh Hamas akan menyambut tawaran untuk negosiasi. Surat kabar Inggris The Guardian yang terbit dua pekan lalu menurunkan berita bahwa Obama tengah membuka jalur komunikasi dengan Hamas. Menurut sumber yang dikutip koran itu, kontak awal dengan Hamas akan dilakukan intelijen Amerika. Mirip proses rahasia tatkala Washington menjalin hubungan dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 1970-an.
"Kita tak punya banyak waktu," kata Obama. Dalam pidato yang sama ia menekankan pendekatan baru dengan mendudukkan dirinya sebagai koreksi terhadap pemerintahan Presiden George W. Bush, yang selama ini telah mempersempit dunia diplomasi Amerika dengan gagasan "Poros Setan". Itu Istilah khusus bagi negara seperti Iran, Suriah, dan Korea Utara, yang dinilai mendukung terorisme dan menyimpan senjata pemusnah massal. Sebaliknya Obama sejak awal sudah membuka pintu diplomasi lebar-lebar untuk negara-negara itu. Ya, tanpa Iran dan Suriah, perdamaian Palestina-Israel sukar terwujud.
Obama menjanjikan change, perubahan. Amerika Serikat di bawah Barack Obama tetap merupakan satu-satunya negara adikuasa pada awal abad ke-21 ini. Dan kita bisa membayangkan, seandainya Obama tak beringsut dari poin-poin yang dijanjikan di atas, perubahan itu berangsur-angsur akan terjadi. Dan Amerika akan menjadi kawan Israel yang baik: menegur jika Israel berbuat salah, ketimbang melindunginya dengan pasokan senjata dan hak veto di Dewan Keamanan PBB.
Bagi kita di Indonesia, Barack Hussein Obama tentunya lebih dari sekadar nostalgia. Bila paket pemulihan ekonomi Amerika yang digerakkan dengan dana US$ 1 triliun itu berhasil, Indonesia akan mendapatkan kembali pasar yang besar bagi barang-barangnya. Dengan itu, antara lain, kita akan melewati tahun-tahun yang sulit. Dengan Obama kita berharap anak-anak Palestina berhenti merintih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo