Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gempa

Gempa itu peristiwa alam biasa. Bukan rekayasa adu kebohongan atau mempermalukan orang, seperti cara memilih calon wakil presiden.

11 Agustus 2018 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto aerial kondisi rumah yang rusak akibat gempa bumi di Lombok Barat, NTB, Selasa, 7 Agustus 2018. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 26 orang meninggal dan 25.402 bangunan rusak. ANTARA/Zabur Karuru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gempa itu peristiwa alam biasa. Bukan rekayasa adu kebohongan atau mempermalukan orang, seperti cara memilih calon wakil presiden. Memang para ahli geologi belum bisa memprediksi kapan gempa itu terjadi. Tapi lempengan dan patahan yang ada di bumi, sudah bisa dipelajari dan Indonesia adalah negeri yang rawan gempa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun kita akan menjadi bangsa yang sulit maju–dengan bahasa lebih kasar, tetap dungu–jika setiap ada gempa dikaitkan dengan hal-hal yang tak nalar. Misalnya menyebut gempa 7 skala Richter di Lombok yang terjadi Ahad lalu, disebabkan Gubernur Nusa Tenggara Barat mengalihkan dukungan ke Jokowi.

Bercanda? Bisa jadi, meski kurang etis bercanda di tengah anak-anak pengungsi yang kelaparan. Juga kurang elok, jika gempa dikaitkan dengan ramalan yang nyaris takhayul. Contohnya membuka primbon Jawa lalu menemukan catatan, gempa bumi yang terjadi di bulan Dzul Qaidah adalah alamat akan terjadi kekacauan dalam negara, ada perebutan kekuasaan.

Uniknya di setiap etnis budaya bertebaran primbon semacam itu. Di Bali ada primbon yang menyebutkan, gempa di Sasih Karo (bulan kedua kalender Saka Bali) yang terjadi Ahad lalu, pertanda banyak orang saling memfitnah.

Kalau dikait-kaitkan dengan situasi saat ini, bisa jadi masuk akal. Bukankah menjelang pemilu serentak yang juga memilih presiden, kekuasaan diperebutkan dengan licik? Dan bukankah dalam perebutan kekuasaan itu fitnah berseliweran, baik fitnah yang serius maupun fitnah yang rada bercanda, seperti adanya jenderal kardus? Masalahnya, apakah kita mau terseret pada cara-cara seperti ini untuk memaknai datangnya gempa.

Harusnya kita berpikir yang jauh lebih rasional terhadap apa yang perlu kita evaluasi setelah gempa terjadi, yakni kalau kita menyadari hidup di negeri yang rawan gempa, bagaimana seharusnya kita menyiasati hidup ini agar korban tak banyak berjatuhan saat bencana alam itu datang. Posisi negeri kita sudah jelas berada di pertemuan tiga lempeng utama dunia, yaitu lempeng Eurasia, Indoaustralia, dan Pasifik. Gempa sewaktu-waktu datang, bagaimana permukiman dan kota-kota yang berada di jalur lempeng utama dunia itu harus dibangun.

Gempa besar dengan pusat di Bali Utara–masih dalam garis lempeng utama dunia seperti halnya di Lombok–terjadi pada 1976. Ribuan rumah luluh lantak dan 400 jiwa lebih korban tewas. Namun rumah-rumah tradisional Bali, terutama lumbung padi yang hampir tiap keluarga memilikinya, tak ada yang roboh. Di pusat gempa, seperti Seririt, paling bangunan itu miring. Kenapa begitu sakti? Ternyata leluhur kita punya teknik membuat bangunan yang tahan goyangan. Sambungan kayu tak memakai paku, tapi menggunakan apa yang disebut lait dengan ikatan tali yang kuat tapi elastis.

Direktorat Cipta Karya kemudian menyebarkan teknik yang dikuasai para undagi, sebutan arsitek tradisional Bali, itu dengan menerbitkan buku pedoman bagaimana membangun di kawasan rawan gempa. Masyarakat mengikutinya karena memang trauma dengan musibah gempa.

Kini, masih adakah bangunan tahan gempa itu? Sudah lama hilang. Bahkan pemerintah sudah tak lagi peduli apa itu bangunan tahan gempa, apalagi rakyatnya mungkin juga tak tahu. Teori para leluhur bagaimana membangun di kawasan rawan gempa barangkali cuma ada di rak perpustakaan fakultas teknik arsitektur. Alasan kenapa hal itu dilupakan juga menarik: kan sudah lama tak ada gempa.

Apa kita cukup berdoa agar gempa tak datang? Lalu kalau ada gempa kita mencari siapa yang disalahkan sembari mengkaitkan dengan situasi kekinian? Betapa dungunya kita.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus