Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mitigasi Bencana Gempa dan Standar Bangunan

Gempa Turki menjadi peringatan bagi Indonesia untuk menyempurnakan sistem mitigasi bencana dengan standar bangunan tahan gempa.

14 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mitigasi Bencana Gempa dan Standar Bangunan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gempa Turki jadi peringatan agar Indonesia menyempurnakan sistem mitigasi bencana.

  • Mitigasi dapat dilakukan dengan perencanaan tata ruang sesuai dengan kerentanan wilayah.

  • Mitigasi juga dilakukan dengan menerapkan standar bangunan tahan gempa.

Bencana gempa bumi di Turki dengan magnitudo 7,8 pada 6 Februari lalu telah menimbulkan ribuan korban jiwa dan menyebabkan sebagian besar gedung serta bangunan publik mengalami keruntuhan total. Dampak gempa besar ini semestinya menjadi peringatan penting bagi masyarakat Indonesia untuk segera menyempurnakan sistem mitigasi bencana, terutama terkait dengan upaya mencegah banyak bangunan runtuh total atau kolaps akibat gempa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada prinsipnya, implementasi mitigasi bencana alam dapat dibagi menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi nonstruktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik. Adapun mitigasi nonstruktural antara lain meliputi perencanaan tata ruang yang disesuaikan dengan kerentanan wilayah dan penegakan aturan (law enforcement) pembangunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mitigasi bencana gempa sangat terkait dengan penataan ruang sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) dan Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UUPB) yang merupakan faktor utama dalam mitigasi bencana yang bersifat nonstruktural. Pasal 47 Undang-Undang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa salah satu elemen penting dalam kegiatan mitigasi bencana adalah penyiapan rencana tata ruang kabupaten/kota berdimensi mitigasi bencana, yang menimbang daerah rawan bencana. UUPR juga telah mengatur bahwa rencana itu harus memuat unsur rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang evakuasi bencana.

Selama ini banyak pihak sering mengabaikan Undang-Undang Bangunan Gedung. Keadaan diperparah oleh masih rendahnya ketaatan masyarakat dan pemerintah daerah terhadap penerapan standar bangunan tahan gempa. Semestinya pemerintah daerah sangat serius melakukannya, terutama yang daerahnya secara geografis terletak di atas sesar atau patahan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membuat skenario dan simulasi jika terjadi gempa besar di wilayah Indonesia. Kondisi itu diprediksi akan langsung menewaskan sangat banyak orang jika mitigasi terhadap gedung-gedung dan bangunan publik diabaikan.

Badan Pengurangan Risiko Bencana PBB memperingatkan bahwa kondisi infrastruktur dan bangunan publik di Indonesia tidak siap dan amat riskan menghadapi bencana gempa. Penerapan bangunan tahan gempa harus terintegrasi dengan sistem mitigasi berdasarkan locus permukiman dan tata ruang. Sistem tersebut menjadi bagian yang terintegrasi dari proses perencanaan dan pengembangan kota, infrastruktur, fasilitas publik, hingga evaluasi berkala terhadap berbagai kelaikan sarana dan prasarana yang menjadi bagian dari layanan keselamatan publik.

Sebagai negara yang sering dilanda gempa, kita memerlukan cara yang tepat untuk mereduksi risiko gempa, terutama untuk bangunan publik. Hingga kini, ketaatan masyarakat dan pemerintah dalam menerapkan standar ketahanan gempa masih rendah. Padahal sudah ada Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1726-2002 tentang standar bangunan tahan gempa yang telah diterbitkan dan telah direvisi menjadi SNI 1726-2012. Revisi itu terjadi atas pertimbangan keberlanjutan dan meminimalkan kerusakan bangunan gedung akibat gempa bumi berdasarkan sejarah gempa masa lalu dan langkah-langkah mitigasi standar baru.

Pemerintah daerah masih lemah dalam menerapkan kebijakan standar bangunan tahan gempa. Perubahan mendasar dalam standar baru bangunan tahan gempa pada prinsipnya ada di tingkat kinerja runtuhnya struktur. Para praktisi dan pemerintah daerah belum siap menghadapi perubahan itu, terutama dalam implikasi anggaran pelaksanaan proyek dan mekanisme pengadaan barang dan jasa. Hal ini diperparah lagi oleh rendahnya kualitas pendidikan praktisi dan pejabat pemerintah daerah.

Akibatnya, pelaksanaan standar baru terasa lambat diterapkan dan bermasalah bagi keberlanjutan konstruksi gedung. Salah satu contoh, masyarakat melihat bangunan publik seperti sekolah, rumah sakit, dan pasar menjadi rusak berat akibat gempa. Idealnya, suatu struktur bangunan publik pascagempa diharapkan mampu tetap berdiri dan secara fungsional masih bisa digunakan.

Pemerintah memerlukan manajemen risiko bencana yang dilengkapi peta tematik kebencanaan sebagai informasi kebencanaan spasial. Esensi Undang-Undang Penanggulangan Bencana adalah usaha mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketangguhan pemerintah daerah dan masyarakat dalam menghadapi bencana. Pemerintah memerlukan inovasi dan sinkronisasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang telah menyusun rencana strategis dengan sasaran menurunnya indeks risiko bencana secara signifikan.

Target penurunan indeks risiko bencana sangat dipengaruhi oleh komponen penyusunnya, yaitu komponen bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Dari ketiga komponen itu, komponen bahaya merupakan komponen yang sangat kecil kemungkinan untuk diturunkan, sehingga indeks dapat diturunkan dengan cara meningkatkan kapasitas atau komponen kapasitas. Peningkatan kapasitas dapat dilakukan di setiap tataran pemerintahan dan masyarakat.

Gempa yang terjadi berulang kali semestinya menyadarkan pemerintah dan masyarakat tentang perlunya penerapan struktur bangunan yang akrab dengan gempa karena mampu mereduksi efeknya. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar korban gempa adalah karena tertimpa material bangunan. Dengan demikian, mau tidak mau kita harus memikirkan solusi dalam teknik bangunan serta mengevaluasi dan memasyarakatkan aspek struktur bangunan di daerah rawan gempa. Selain itu, dibutuhkan teknologi tepat guna yang murah dengan bahan baku lokal yang melimpah guna meminimalkan dampak gempa.

Dalam konteks tersebut, sebenarnya penemuan atau inovasi teknologi sudah menghasilkan bermacam pilihan. Sayangnya, banyak pihak kurang merespons hal tersebut. Perkembangan teknik sipil, khususnya konstruksi bangunan tahan gempa, dalam dekade terakhir ini telah cukup maju, yaitu adanya perubahan paradigma dari menilai kekuatan dan daktilitas menjadi kinerja. Para ahli struktur menyadari bahwa keamanan dan keselamatan bangunan tidak hanya bergantung pada tingkat kekuatan, tapi juga pada tingkat deformasi dan energi terukur pada kinerja struktur.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan Anda ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Totok Siswantara

Totok Siswantara

Pengkaji Transformasi Teknologi dan Infrastruktur dan Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus