Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan dibangunnya lebih banyak tempat ibadah, semestinya itu pertanda masyarakat semakin religius. Semakin religius masyarakat, semakin damailah bumi ini, karena semua ajaran agama menekankan perdamaian. Di Bali belakangan ini ada ratusan tempat ibadah non-Hindu dibangun, terutama masjid, tak ada masalah dengan lingkungan sekitarnya. Paling, awal-awalnya umat Hindu merasa terganggu oleh pengeras suara yang ingar-bingar.
Kenapa tak ada masalah? Karena SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1969 yang mengatur pendirian tempat ibadah tidak dilaksanakan secara kaku. Dalam SKB itu antara lain disebutkan, pemerintah dapat memberikan izin pembangunan tempat ibadah jika diperlukan, setelah mempertimbangkan pendapat masyarakat sekitarnya. Kalau pemerintah tidak memerlukan pertimbangan masyarakat setempat dan pemerintah merasakan tak ada yang dirugikan, selesailah urusannya.
Di beberapa daerah?tidak semua daerah?pemberian izin betul-betul mengharuskan adanya rekomendasi dari warga sekitarnya. Rekomendasi bisa dari kepala desa, bisa pula dari tokoh agama atau ulama setempat. Di sinilah timbul masalah. Ada lingkungan yang kaku, tak ingin ada tempat ibadah yang penganut agamanya minoritas. Ada lingkungan yang toleran, yang memberikan rekomendasi meski mayoritas penduduknya tak ada urusan dengan tempat ibadah itu.
Ketidakseragaman dalam menafsirkan SKB ini sering menimbulkan gesekan, terutama mengenai apakah rekomendasi itu keharusan atau tidak. Kalau harus, siapa yang punya otoritas mengeluarkan rekomendasi. Ada tempat ibadah yang sudah dibangun karena pemuka agama di sekitar tempat ibadah itu memberikan jaminan tak ada masalah, namun izin dari pemerintah tidak turun karena kepala desa tidak mengeluarkan rekomendasi. Sebaliknya, kepala desa mengeluarkan rekomendasi, izin turun, namun setelah beberapa lama masyarakat mulai protes dan muncullah gesekan.
Gesekan paling anyar terjadi pekan lalu di Ciledug, Tangerang. Komponen masyarakat Islam melakukan aksi massa meminta agar kegiatan ibadah di sebuah sekolah di sana dihentikan. Padahal riwayat tempat ibadah itu panjang sekali. Dirintis sejak 1990 dan umat berpindah-pindah tempat, baru pada 1992 tempat ibadah ditetapkan dengan memanfaatkan bangunan sekolah setelah keluarnya surat rekomendasi dari Kepala Desa Karang Tengah. Rekomendasi ini ditembuskan ke bupati, wali kota, camat, dan semua ketua RW dan RT setempat. Tak ada masalah apa-apa, umat Katolik melaksanakan ibadah dengan tenang, meski resminya itu bukan gereja.
Setelah 12 tahun berjalan damai, Kepala Departemen Agama Kantor Kota Tangerang tiba-tiba meminta agar kegiatan keagamaan di kompleks sekolah itu dihentikan. Surat dilayangkan pada Juli lalu. Sebulan kemudian, entah apa yang terjadi, Lurah Karang Tengah mencabut rekomendasi yang dibuatnya pada 1992. Sejak itu muncullah "tekanan" warga agar bangunan sekolah itu tidak digunakan sebagai tempat ibadah.
Hal ini menunjukkan perlunya SKB tahun 1969 dikaji ulang, diganti dengan undang-undang yang mengatur siapa yang berwenang memberikan izin pendirian tempat ibadah, dan persyaratan apa yang diperlukan. Undang-undang yang menjamin hak konstitusi masyarakat untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan masing-masing. Jadi yang perlu diatur hanyalah agar pelaksanaan ibadah itu tidak mengganggu ketertiban dan kenyamanan umum, sedangkan ibadahnya tak boleh dilarang dan diganggu bahkan harus mendapat perlindungan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo