Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KISAH raibnya Adrian Herling Waworuntu menambah buram citra karikatural negeri ini, terutama di bidang penegakan hukum. Sampai tulisan ini diturunkan, belum jelas ujung rimbanya di mana gerangan tersangka utama pembobol Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun itu menyuruk. Pengacaranya masih percaya Adrian tak lari ke luar negeri. Sebagian orang mengaku bertemu dengan pengusaha lincah itu di Singapura. Dan seterusnya?.
Polisi sesungguhnya berkewajiban menyerahkan Adrian ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada 8 September lalu, karena berkas pemeriksaannya sudah dinyatakan lengkap. Apa lacur, setelah mangkir dua kali, Adrian malah kabur. Sejak Jumat pekan lalu ia dinyatakan buron dan masuk daftar pencarian. "Kami lalai," kata polisi. Begitu entengnya.
Kalau pasal "lalai" bisa dipakai sebagai penangkal sanksi, bukan cuma polisi yang barangkali akan menggunakannya. Misalkan Adrian Waworuntu benar-benar sukses kabur ke luar negeri, para petugas keimigrasian pun bisa membela diri dengan menggunakan pasal "lalai". Sebab, hingga 15 Oktober, nama Adrian masih duduk manis di daftar cekal. Bagaimana kalau ia menggunakan dokumen identitas palsu? Ya, lalai itu tadi.
Dokter yang memberikan surat keterangan sakit, sehingga Adrian bisa menghindari panggilan polisi, juga sulit disalahkan. Sebab, ia hanya menandatangani secarik kertas yang menyatakan seseorang sedang menderita batuk pilek. Tak kurang tak lebih. Tak akan bisa dibuktikan bahwa sang dokter mendukung cita-cita Adrian meloloskan diri dari jerat hukum. Kesalahannya yang paling besar, mungkin, ya cuma lalai itu juga.
Keterangan pengacara mantan penasihat Gramarindo Group itu juga menarik disimak. Ia mengaku mencegah kliennya memenuhi panggilan polisi karena yakin sang klien tidak merasa bersalah. Di sini, "perasaan" bersalah atau tidak bersalah ditempatkan lebih tinggi dari martabat surat panggilan resmi dari lembaga kepolisian negara. Justru kalau merasa tidak bersalah, apa beratnya memenuhi "undangan" polisi?
Lembaga kepolisian tampaknya tak akan meremehkan pasal lalai itu. Menurut seorang petinggi kepolisian, secara internal akan dilakukan penyidikan. Tetapi jangan dianggap gampang. Perintah penyidikan hanya akan turun dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Ada hierarki struktural yang harus dilalui. Proses hukumnya akan dilakukan oleh divisi profesi dan pengamanan. Artinya, seperti biasa, janganlah berharap urusannya cepat selesai.
Di sinilah, seperti pernah diungkapkan majalah ini, mustahaknya keberadaan Komisi Kepolisian Nasional, seperti diamanatkan Undang-Undang No. 2/2002. Lembaga inilah yang ditugasi membantu presiden menetapkan arah kebijakan polisi dan memberikan pertimbangan dalam pengangkatan serta pemberhentian Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Karena keanggotaannya meliputi unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat, lembaga ini lebih diharapkan bersikap independen dan profesional.
Sulit dipahami mengapa undang-undang yang sudah disahkan lebih dari dua tahun silam itu tak juga menemukan wujudnya. Apalagi penegakan hukum merupakan amanat reformasi yang sesungguhnya tak bisa ditawar. Ketika penegakan hukum itu menyentuh wilayah para penegak hukum sendiri, dalam hal ini kepolisian, masalah hierarki dan prosedur tiba-tiba terasa sebagai aspek teknis yang bisa mengalahkan prinsip. Tak salah kiranya menitipkan urusan ini kepada pemerintah baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo