Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP usaha untuk mengkaji ulang hukum Islam, agar lebih cocok dengan kondisi, suasana, dan perkembangan Indonesia, patut disokong penuh. Sikap yang sama perlu ditunjukkan atas usaha Siti Musdah Mulia dan tim pengarus-utamaan gender Departemen Agama yang mengkaji kembali Kompilasi Hukum Islam yang sudah berusia 13 tahun. Siti Musdah cs berhasil merumuskan Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam setebal 118 halaman.
Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut Kompilasi) pertama kali dirumuskan pada tahun 1991. Ini adalah kumpulan hukum-hukum Islam yang dituliskan dalam 229 pasal, terdiri dari tiga bidang: hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Dulu, Departemen Agama yang berinisiatif mengumpulkan hukum ini, kemudian disebarkan ke seluruh negeri dalam payung hukum Instruksi Presiden (Soeharto) Nomor 1 Tahun 1991.
Kompilasi tahun 1991 itu boleh dibilang terjemahan kitab kuning (al-kutub al-qadimah) yang berbahasa Arab, yang isinya hukum normatif Islam atau fikih, ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan ini menjadi pedoman para hakim agama dalam menyelesaikan kasus-kasus di pengadilan agama.
Karena bersumber pada kitab kuning, Kompilasi ini bisa dibedakan dengan hukum formal negara yang menampung kebutuhan umat Islam di Indonesia?misalnya Undang-Undang No. 17/1999 tentang Perjalanan Haji atau Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan. Proses perumusan kedua aturan hukum itu pun berbeda. Perumusannya pun berbeda. Sementara Kompilasi tahun 1991 dilahirkan oleh tim Departemen Agama, undang-undang lahir lewat proses persetujuan DPR.
Zaman berkembang. Kompilasi tahun 1991 yang dicangkok langsung dari sumber aslinya itu sangat mungkin tidak lagi kompatibel dengan konteks Indonesia. Kompilasi tahun 1991 itu juga dirasakan tidak selalu sejalan dengan hukum nasional dan internasional yang bergerak menuju terciptanya masyarakat yang egaliter, pluralis, dan demokratis. Lebih jauh lagi, seperti ditemukan Siti Musdah Mulia dan timnya, Kompilasi tahun 1991 justru dipandang berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang universal, seperti persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ikha), dan keadilan (al-adl).
Dengan menimbang itu semua, revisi adalah keharusan. Dan apabila "aroma" kesetaraan gender begitu mencolok di counter-legal draft Kompilasi yang baru, itu karena penyusunan yang dimulai tahun 2001 itu berangkat dari keprihatinan pada kekerasan terhadap perempuan. Perumusnya terlibat dalam dicetuskannya kebijakan (tak menerima) zero tolerance terhadap kekerasan perempuan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
Tapi, tak ada yang keliru dengan keprihatinan pada kekerasan terhadap perempuan yang menjadi pertimbangan penting perumusan Kompilasi yang baru. Sepanjang penelusuran fikihnya bisa dipertanggungjawabkan, draf pertama perbaikan Kompilasi itu tidak harus disambut dengan penolakan keras.
Malah, walaupun disadari bahwa agama adalah urusan privat antara manusia dan Tuhannya, dan setiap intervensi negara seperti "mengoyak" ruang privat kita, semangat Siti Musdah untuk meninjau kembali poin-poin krusial harus kita relakan untuk dilakukan. Poligami, misalnya. Dalam realitas, sukar mencari istri yang dengan sukarela dan ikhlas menyetujui suaminya beristri dua atau tiga, atau mencari suami yang mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya, seperti persyaratan fikih. Maka, ide melarang poligami dalam Kompilasi yang baru patut dipertimbangkan untuk diterima. Sebaliknya, pengikatan perjanjian perkawinan yang ada di Kompilasi yang baru harus benar-benar dipastikan berbeda dengan kawin kontrak yang agak merendahkan martabat perempuan itu.
Pro dan kontra tidak harus membuat perumusan Kompilasi baru ini terhenti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo