TIDAK ada tragedi yang lebih parah bagi pekerja seni dan budayawan daripada patahnya daya kreatif hidup atau lemasnya daya hidup karena bencana. Barangkali lantaran kepekaan itulah berbagai ikhtiar digelar para seniman untuk warga Flores yang sedang kritis dalam semangat hidup dan daya hidup. Maraton kepekaan itu dimulai di Bali oleh Sardono W. Kusumo, Made Wianta, Srihadi Soedarsono, Dede Eri Supria, dengan Art for Flores lewat seni lukis. Kemudian dilanjutkan Kartika yang langsung ke Flores, terus Widayat. Getar pijar kepedulian melanjut dengan Heart for Flores oleh pekerja seni Wahyoe Wijaya, Martin Sitepu, Krijono, dan ditapaki langkah pameran berikutnya dengan karya Sri Hadhy, Maria Tjui, Sutripto, Lanny A., Idran Yusuf, dengan Vibrasi Flores. Kemudian, maraton api kepedulian diteruskan di News Cafe Jakarta, tidak hanya oleh pelukis tetapi juga seniman musik dan tari. Juga pergelaran musik Iwan Fals di Stadion Lebakbulus. Puncaknya, 18 Februari 1993 ini di Mercantile: Art for Flores. Mengapa fenomena kepedulian itu begitu hangat? Jawabannya ada pada ''rahasia'' kaitan antara kesenian dan kehidupan. Kesenian akan bergaung, berperistiwa, dan menggugat manakala ia, sebagai kerikil kecil, mampu memecah permukaan danau tenang kehidupan dengan ''kelepaknya''. Lalu terjadilah lingkar-lingkar gelombang di air danau kehidupan itu. Sebuah kesenian memang baru berperan ''menyapa'' bila ia mampu menimbulkan suara kelepak sekecil apa pun di air danau kehidupan. Ia menggugat ketenangan hidup yang semu, ia menimbulkan polemik, mengajak orang mengomentari, menggugah kesadaran orang agar peduli pada sesama, untuk berpikir mengenai realitas. Dan bila kesadaran pikir kita sudah usang didebui dan dilumpuri oleh rutinitas ketidakpekaan, menyerah pada arus besar asal selamat dan asal hidup, di sana ia menggoda untuk berpikir dalam nuansa baru yang sebelumnya seolah tenggelam dalam ''kemapanan'' hidup sehari-hari. Ketika secara nasional dompet mengalir deras dan sudah dikelola Pemerintah dengan aparatnya, saat itu pula arus kepedulian seniman bergerak untuk menggugat ke dalam, menukik ke yang esensi dari kehidupan: transformasi jantung peradaban itu sendiri, pemulihan daya hidup manusia itu sendiri. Dengan kata lain, refleksi atas kehidupan bersama kita dipertajam dengan menunjuk: tidak cukup pembangunan kembali Flores secara fisik. Tidak cukup pendirian kembali rumah-rumah yang roboh karena gempa dan tsunami, sebelum kita tahu dan sadar adakah rumah-rumah tradisional asli dari bambu dan kayu tahan gempa yang mampu memberi citra baru Flores pascagempa. Itulah yang menjadi kepedulian seni arsitek yang kini berusaha bergerak bersama Romo Mangunwijaya, dan nanti Antonio Ismael. Tidak hanya itu. Bila perumahan nantinya mulai bangkit kembali, bukankah sanggar seni sebagai kantong kesenian yang menjadi sumber keberanian semangat hidup dan sumber kreativitas seni juga harus dibangun kembali? Bila rumah asli dari bahan kayu dan bambu yang ekologis dengan alam sekitar ternyata lebih tahan gempa daripada rumah bertembok, yang manakah yang perlu diberi ruang untuk alternatif? Juga dalam kaitan siklus terus- menerus gempa ini, bukankah gempa budaya dan trauma-trauma psikis masyarakat yang membuat lemas untuk bangun kembali mesti dicairkan, dicari pemecahannya lewat ''kesenian- kesenian yang ada'', lewat kerajinan tenun dan musik setempat? Inilah yang menggugah Art for Flores, saat para seniman bergandeng tangan untuk menempatkan proses Flores bangun kembali dari pigura kesenian, yaitu pemulihan semangat dorong kreasi, semangat kehidupan itu sendiri. Pada titik kulminasi inilah fenomena-fenomena Iwan Fals dengan konser musik kemanusiaan, penari Sardono W. Kusumo, arsitek Mangunwijaya dan Antonio Ismael, pelukis, penulis, pengusaha, bertekad untuk sampai pada perwujudan sisi ''transformatif'' dari kesenian. Artinya? ''Kesenian'' lalu tidak hanya involutif, menghibur diri sendiri, peduli kepentingan sendiri. Kesenian lalu ''transformatif'', membahasakan riil dan mewujudkan kepedulian terhadap nasib- nasib sesama bangsanya. Ini berarti kesenian tidak hanya ''meneror'' kesadaran rutin, tidak hanya mengguncang pikiran dan nurani dalam menimbang pemecahan masalah fisik sektoral manusia, tetapi lebih jauh menggerakkan orang untuk mengambil ''cangkul'' (baca sebagai perangkat, panggung, dan sarana seni) untuk diayunkan dan lalu menyebarkan benih-benih bernama peradaban kemanusiaan. Bila rumah dibangun kembali tidak hanya sebagai tempat teduh tetapi tempat oasis untuk berani berkreasi, bukankah sisi fisik dan material dari barak disempurnakan dengan sisi peradaban sebuah rumah? Bila pantai-pantai yang secara alamiah turun-temurun di Flores sudah secara ekologis punya tiga lapisan penahan gempa dan gempuran ombak tsunami (tempurung-tempurung karang lapis pertama, lalu hutan bakau pantai di lapis kedua, dan kelapa-kelapa dengan akar cengkeraman tanah pantai di lapis ketiga), tidakkah ''pengetahuan alami tradisional'' ini harus dijaga dalam tata ekologi pantai dan tidak kita hancurkan? Flores memang membuka refleksi-refleksi baru dari kelelapan model peradaban pembangunan yang selama ini kita pilih. Dan kalau kesenian sudah masuk dalam arus inti dalam kepeduliannya, kehidupan kemanusiaan itu pulalah yang kita rajut penyejahteraannya. Bukankah bila Flores pulih kembali, itu berarti kita sebangsa juga bisa tersenyum lagi dalam kemanusiaan kita?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini