Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duduk di puncak Borobudur, dan mencatat kembali aliran spiritualisme dari Candi Mendut, ke Candi Pawon, dan Borobudur, yang dibangun dalam rentang akhir abad ke-8 hingga awal abad ke-9, ibarat menghirup hawa festival panjang tentang kemanusiaan.
Angin telah mencapai desau dan desirnya. Gunung mencapai puncaknya. Dan kamadatu mendarah daging jadi sejarah kemanusiaan, menopang relung-relung batu arupadatu yang digelar dalam rumusan kehampaan, rasa ning sunya tiada tara, tiada wujud, dan tiada terumuskan.
Membayangkan bagaimana Borobudur dirancang adalah membayangkan sebuah megafestivalbahkan megabursawacana dan kerja keras, memeras seluruh pemahaman tentang jagat raya. Setajam-tajamnya visi diendapkan, sedalam-dalamnya sumber ide digali, secanggih-canggihnya cerdik pandai dan sarjana dikerahkan, analisis tentang dampak lingkungan dilakukan, sumber daya manusia (SDM) perajin disiapkan. Lalu padat karya terampil, para konsultan multidisiplin dan teknologi tampil dengan tugas khusus: menentukan ruang dan titik-titik mandala yang mengantar masa depan Candi Borobudur jadi warisan sejarah peradaban dunia.
Mereka niscaya maestro peradaban. Mereka ada pada ruang budaya yang tidak sesempit ruang politik ekonomi kontemporer (baca: sezaman) kala itu. Kini festival monumental Borobudur yang lahir pada zaman pra-Majapahit itu, dan berlanjut di era industri pariwisata kontemporer kini, termasuk Festival Borobudur, Juni ini.
Memang rasanya kurang adil membandingkan SDM berkualitas pada abad ke-8 dan ke-9, saat Borobudur dibangun dulu, dengan SDM Nusantara abad ke-20, apalagi cuma birokrasi era reformasi Indonesia abad ke-21. Tapi festival internasional yang digagas birokrasi abad ke-21 ini ternyata sekadar sebatas pariwisata, kata lain dari leisure, kesenangan, kenikmatan, lebih mendekati kamadatu (pucuk kerohanian) ketimbang arupadatu (nafsu keduniaan), dua relief yang terpahat di kaki Borobudur.
Tentu itu tak tertuju pada birokrasi daerah tingkat II atau kabupaten, dan birokrasi provinsi tempat Borobudur berada. Meskipun demikian, penguasa politik dan ekonomi lokal tidak harus tidak bekerja keras bagaimana merancang sinergi kebudayaan sejati lintas SDM, dan lintas wilayah. Jadi, jangan terus berlaku dan berpikir bodoh dan memalukan, dengan sentimen negatif anti-(campur tangan) Provinsi DI Yogyakarta, dan Kota Yogya, semata-mata karena tak bisa mematahkan mata rantai industri pariwisata DIY.
Tapi patut diingat, bujet besar dan glamorous bisa saja dikalahkan oleh unikum gagasan sederhana rakyat kecil, potret sosiologis masyarakat di tengah festival seperti petan (mencari kutu), adu ayam, kerokan punggung, makan gratis. Dan kegotong-royongan total seluruh desa merupakan sesuatu yang spektakuler, tak dibuat-buat, sungguh menakjubkan sebagai bahan diskusi para budayawan.
Pada sisi lain, Festival Lima Gunung, Festival Agitatif, dan Festival Kampungan, telah mematahkan mata rantai wisata Jawa Tengah, DIY, sindrom SARS, bom Bali, bahkan terorisme. Festival rancangan masyarakat bawah itu bahkan telah menyatukan Nusantara, bahkan antarbenua, karena isu-isu peka dan khusyuk yang mampu menggedor lintas media di lintas negeri.
Rendra, yang ujug-ujug terlibat dan terhenyak di tengah massa orang desa, dengan kenangan dan berhari-hari berkomentar tentangnya, kemudian juga terlibat tanpa bayaran dan kontrak apa pun. Wartawan, pastor, kiai, mahasiswa, pedagang asong, petani, ibu rumah tangga, tiba-tiba ikut terlibat dan jadi agitator budaya. Rumah pedagang tembakau jadi tempat latihan teater, dan lomba esai tentang penataan Borobudur antarpelajar se-Jawa Tengah dan DIY juga diperpanjang hingga akhir Juni 2003.
Semua ornamen dan kolase peristiwa ini tentulah bukan dunia wisata dengan "kacamata kuda" turis asing. Semua gemuruh "lokal" dan "mandiri" itu bahkan sangat turistik bagi warga setempat, dan kultural bagi siapa saja yang hadir. Inilah sinergi ketika pariwisata bukanlah hubungan antara tuan dan hamba martabat manusia, dan ekuivalen dengan dolar, yen, atau bayaran buruh tani sehari, tarif hotel semalam, atau harga sayuran per kilo di bawah nilai.
Angin telah mencapai desaunya di desa-desa. Dan penyair menggantikan sayur yang jatuh jadi persahabatan. Mereka menukarnya dengan tarian dan sajak, mereka berbisik saling merengkuh dan menopang. Di desa-desa, Borobudur, ibarat ibu kebudayaan yang bermetamorfosis menjadi kegembiraan pada masyarakat banyak, dan masyarakat banyak adalah Intercosmolimagination.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo