Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Golkar, Pudarnya Janji Perubahan

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENANGGAPI reaksi negatif atas terpilihnya sebagai Ketua Umum Partai Golkar lewat Musyawarah Nasional ke-7, tiga pekan lalu, Jusuf Kalla menyatakan perangkapan jabatan wakil presiden dan ketua umum partai bukan fenomena baru di Indonesia. Sampai di sini, Kalla benar. Kita mengalami feno-mena itu ketika jabatan wakil presiden di-pegang Sudharmono, Megawati Soekarno-putri, dan Hamzah Haz.

Persoalannya baru menjadi lain jika kita berusaha mengingat "janji politik" yang ditawarkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla pada masa kampanye pemilu presiden, yakni "perubahan". Janji politik itu sendiri sebetulnya bukan sesuatu yang luar biasa. Sebab, dengan bergulirnya "reformasi", peta politik negeri ini berubah drastis. Dewan Perwakilan Rakyat, yang selama sekitar tiga dasawarsa hanya berfungsi sebagai lembaga stempel, berubah menjadi arena pertarungan kekuatan yang nyata dan hidup.

Ketika partai-partai memainkan perannya yang fungsional dan dinamis, terbitlah harapan untuk menyaksikan tumbuhnya demokrasi yang sehat di negeri ini. Lewat partai-partai politik pilihannya, rakyat jelata, atau lapisan bawah masyarakat, mendapat akses menyalurkan aspirasinya. Kekuasaan tidak lagi bisa mengabaikan lembaga pengontrol, yang notabene mewakili para pemilih dengan daya kritis yang terus tumbuh dewasa.

Harapan ini ternyata masih jauh panggang dari api. Apalagi setelah menyaksikan "parade" terakhir Partai Golkar lewat musyawarah nasional nan mewah meriah di Nusa Dua, Denpasar, Bali. Praktis agenda mahapenting musyawarah itu tiada lain daripada perebutan kursi ketua umum. Dengan segala niat dan kiat di arena musyawarah, "kursi emas" itu akhirnya jatuh ke tangan Jusuf Kalla, wakil presiden periode 2004-2009.

Hal pertama yang paling terasa dari panorama ini ialah, partai menjadi seolah-olah bukan yang paling penting. Partai hanyalah sebuah setting untuk kontes para unggulan, yang "keunggulan"-nya pun tidak bisa diprediksi dengan itung-itungan demokratis. Golkar, yang punya sejarah panjang sekitar empat dasawarsa—meskipun bagian terbesar usia itu dikhidmatkan bagi kelanggengan kekuasaan Soeharto—tidak berhasil melangkah ke ranah baru pembaruan demokrasi di negeri ini.

Penyusunan "kabinet" Partai Beringin itu di bawah ketua umum yang baru juga melahirkan banyak pertanyaan. Nama-nama yang pernah dipecat oleh rapat pimpinan yang sah pada 15 September lalu, misalnya, langsung duduk manis di jajaran kepengurusan. Kita sama sekali tidak keberatan dengan nama-nama itu, tetapi alangkah cantiknya bila mereka direhabilitasi lebih dulu, sehingga secara administratif-organisatoris tidak ada aturan main yang bisa diperdebatkan.

Jika kemudian timbul persoalan—terutama dari pihak yang "kalah"—terhadap "kealpaan" tertib organisasi itu, semuanya jadi bisa dimaklumi. Bagian ini juga menyangkut beberapa nama yang dianggap "lompat pagar", malah ada yang tidak dikenal oleh kalangan pengurus Golkar sendiri di lapisan bawah. Sulit sekali menghapus kesan akan kentalnya atmosfer bagi-bagi kekuasaan, yang di sana-sini malah menimbulkan kecurigaan akan pulihnya nepotisme dan persekongkolan.

Sejak Jusuf Kalla mengumumkan keputusannya bertarung memperebutkan kursi ketua umum, sebetulnya sudah muncul syak wasangka akan kembalinya suasana Orde Baru, ketika Golkar dan kekuasaan bagaikan lepat dengan daun. Syak wasangka sendiri bukanlah sesuatu yang sehat bagi pertumbuhan demokrasi. Tetapi, setelah Jusuf Kalla mengumumkan "kabinet"-nya, apa boleh buat, syak wasangka itu mulai berubah menjadi sikap waspada.

Sulit membayangkan perubahan peta "kekuasaan" di tubuh Partai Golkar tidak berpengaruh pada konstelasi perimbangan suara di DPR. Contoh paling konkret adalah pernyataan Jusuf Kalla tentang Koalisi Kebangsaan, yang disebutnya bersifat sementara dan situasional. Dalam hal ini pun Kalla sepenuhnya benar: di ranah politik tidak ada sohib atawa seteru abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Pertanyaan yang kemudian layak diajukan ialah untuk apa dan kepada siapa kepentingan abadi itu dipersembahkan. Perebutan kursi di arena musyawarah nasional sulit sekali menghapus kesan tawar-menawar yang lebih merujuk pada adu siasat yang dilampiri "sumbangan pembinaan", bukan pada aspirasi lapisan bawah dan tertib organisasi. Suasana ini masih dibumbui pula oleh mondar-mandirnya dukungan dari satu kandidat ke kandidat yang lain, sebuah pemandangan yang sesungguhnya tidak menarik.

Dengan segala "carut-marut" ini, masih terbukakah peluang bagi Jusuf Kalla untuk membenahi keadaan dan tetap setia pada janji politiknya, yakni "perubahan"? Bung Karno pernah menyatakan, kesetiaannya kepada partai berhenti ketika kesetiaannya kepada negara mulai. Dan sejarah membuktikan, Partai Nasional Indonesia, yang praktis didirikan oleh Bung Karno dan dipimpinnya dalam waktu lama, kemudian menempuh sejarahnya sendiri. Lapisan bawah yang kritis seyogianya mengamati langkah-langkah Jusuf Kalla selanjutnya dengan sikap waspada, seraya boleh tetap berharap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus