Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi unjuk rasa marak di berbagai kota besar. Memang, kebanyakan yang disuarakan adalah rencana pemerintah menaikkan harga BBM tahun depan, yang sesungguhnya tidak jelas benar kapan rencana itu akan diwujudkan. Kata pemerintah, semuanya masih dikaji. Tapi demo dengan membakar-bakar gambar presiden dan wakil presiden—sesuatu yang amat berlebihan, karena ini simbol kenegaraan—sudah dilakukan para mahasiswa.
Dari beberapa aksi unjuk rasa, ada juga yang memprotes kenaikan harga pertamax dan elpiji yang mencapai 40 persen. Katanya, kenaikan ini berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya dan pada akhirnya menyengsarakan rakyat. Tentang kenaikan harga pertamax, lebih baik tidak kita ulas di sini karena protes itu pastilah kebablasan jika dikait-kaitkan dengan masyarakat kecil. Pertamax adalah bahan bakar yang digunakan oleh mobil-mobil mewah yang tentu hanya dipakai oleh golongan menengah ke atas. Kalau "kenikmatan" untuk orang kaya ini juga masih disubsidi, apakah itu adil untuk masyarakat kelas bawah?
Tentang kenaikan harga elpiji, ada beberapa hal yang mesti dijelaskan. Harga bahan baku untuk mengolah elpiji memang sudah tinggi, sehingga harga Rp 3.000 per kg seperti dulu akan membutuhkan subsidi yang besar. Untuk perbandingan, harga elpiji di Malaysia Rp 3.200 per kg, sedangkan di negara ASEAN lainnya jauh lebih tinggi. Harga elpiji di Filipina Rp 4.968 per kg, di Vietnam Rp 5.300 per kg, dan yang tertinggi adalah di Singapura, Rp 11.000 per kg. Dengan dinaikkannya harga elpiji di Indonesia menjadi Rp 4.000 per kg, sekarang harga elpiji yang paling murah untuk kawasan Asia Tenggara adalah di Malaysia—walau ada subsidi pemerintahnya sebesar Rp 1.000. Konon, Malaysia pun akan menaikkan harga itu dalam waktu dekat.
Apa yang mau kita catat dari sini? Benar secara peraturan Pertamina tidak lagi memonopoli pasar elpiji. Tapi sebaiknya tiga perusahaan yang sudah mendapat izin prinsip—salah satunya Petronas—segera diberi kemudahan untuk mendapatkan izin usaha agar depo elpiji yang sedang mereka bangun bisa segera melayani masyarakat. Mungkin naiknya harga elpiji Pertamina sekarang ini bisa menarik minat pemain baru untuk segera masuk dan beroperasi. Siapa tahu, dengan begitu persaingan jadi lebih sehat, dan masyarakat mendapat harga lebih murah. Hanya dengan begitu masyarakat bisa memilih mau membeli dari Pertamina atau dari produsen lain dengan harga lebih murah. Dan sebaiknya "aturan main" begini diikuti juga untuk bahan bakar yang tidak lagi disubsidi pemerintah.
Penggunaan elpiji di Indonesia juga sesungguhnya tidak besar. Masyarakat Indonesia hanya sekitar 5 persen yang memakai elpiji, sehingga kesan masyarakat menjadi panik terlalu mengada-ada. Di perkotaan memang persentase pemakai elpiji lebih besar, tetapi bukankah mereka kelas menengah ke atas? Dengan menghentikan subsidi elpiji yang hanya dipakai 5 persen masyarakat dan itu pun kebanyakan di perkotaan, pemerintah bisa tetap memberikan subsidi minyak tanah yang dipakai oleh sebagian besar masyarakat menengah ke bawah. Subsidi minyak tanah inilah yang harus dipertahankan pemerintah.
Persoalannya adalah bagaimana memberi subsidi minyak tanah itu agar tepat sasaran. Selama ini subsidi minyak tanah ke masyarakat miskin sering "bocor" sehingga minyak tanah itu kembali dipakai oleh kalangan industri. Pernah pula subsidi diberikan dalam bentuk uang kepada "orang-orang miskin", namun ini terlalu berbelit dan birokratis sehingga memunculkan berbagai penyelewengan. Pemerintah harus dibantu memecahkan masalah ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo