Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBENARNYA tidak ada yang keliru dengan usaha Kepala Kepolisian Jakarta membangun gedung baru untuk Detasemen 88 Antiteror. Satuan yang baru dibentuk pada akhir Agustus itu memang perlu kantor yang memadai. Kehadiran satuan dengan 400 personel ini mutlak diperlukan Jakarta untuk mengawasi setiap sudutnya. Peledakan Hotel JW Marriott dan halaman depan Kedutaan Besar Australia adalah bukti nyata bahwa Jakarta tak boleh "tidur" sedetik pun terhadap ancaman teror bom.
Itu sebabnya banyak yang maklum ketika markas baru Detasemen 88 didesain berlantai 23—ini akan menjadi bangunan terjangkung yang dimiliki polisi. Sudah pasti bangunan di dalam kompleks Polda Metro Jaya itu mahal, total biayanya Rp 660 miliar. Mahalnya ongkos ini pun tak dipersoalkan orang. Semua demi terwujudnya satuan tangkas yang bisa mengendus bom dengan cepat dan menghalaunya lekas-lekas.
Yang dipersoalkan adalah asal-muasal anggaran untuk membangunnya. Anggaran Polri 2004 dan 2005 tidak mencadangkan biaya pembangunan gedung itu. Ketika soal dana itu ditanyakan dalam sejumlah kesempatan, jawaban Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Firman Gani "bercabang". Ia menyebut sumber dana dari Polri, tapi di awal masa pembangunan ada banyak "hamba Tuhan" yang menyumbang karena peduli pada masalah keamanan. Firman ada menyebut sumbangan perorangan itu mirip donasi untuk masjid—tanpa mengharap imbalan.
Bisa saja Firman benar. Siapa tahu di zaman begini masih ada pengusaha yang menganggap menyumbang gedung polisi sama banyak pahalanya dengan menyumbang masjid. Siapa tahu ada pengusaha di Jakarta yang berbudi luhur nan mulia, yang menolak pemeo "tak ada makan siang yang gratis di dunia ini". Mungkin ada baiknya kami usulkan pengusaha macam begini diberi bintang penghargaan tertinggi. Atau ditetapkan sebagai warga terbaik metropolitan. Mungkin setelah menyumbang gedung antiteror, mereka juga mau menyumbang untuk perumahan rakyat kumuh, ikut memikirkan sampah Jakarta, atau ikut aktif dalam pemberantasan narkoba. Ada baiknya Firman Gani mulai membuka siapa pengusaha baik budi dan teladan utama masyarakat itu.
Kalau Firman berat membuka sumber dananya pada masyarakat, tentu ia harus terbuka pada Inspektorat Pengawasan Umum Polri yang sekarang sedang memeriksanya. Pemeriksaan itu semogalah akan memperjelas semuanya—dan tidak kami harapkan sebaliknya: akan mengaburkan apa yang sesungguhnya sudah gamblang. Kasus begini sudah pernah terjadi sebelumnya. Sebuah partai politik pernah "kebingungan" ketika menjalani audit. Rupanya uang yang masuk lebih banyak dari jumlah penyumbang. Artinya, perlu dicari penyumbang "pura-pura". Akhirnya diumumkan sejumlah penyumbang, termasuk seorang anggota partai yang "miskin" yang disebut menyumbang Rp 1 miliar. Sang anggota protes karena tak pernah menyumbang, apalagi menyumbang sebesar itu. Kasus yang sudah jelas itu tak pernah diungkapkan lebih terang benderang. Partai itu juga tak pernah menerima sanksi apa pun.
Dalam kasus gedung Detasemen 88, urusan sumbangan ini harus dibuka seterang-terangnya, karena anggota DPR Djoko Edhi S. Abdurrachman mempunyai informasi bahwa si penyumbang adalah para bandar judi Jakarta. Firman Gani memang sudah membantah, tapi ia harus menjelaskan asal-usul dana sumbangan itu, termasuk jumlah yang masuk. Tentu kita maklum bahwa duit selalu "menggoda" siapa pun untuk berbuat apa saja, kalau perlu "menyenggol" aturan dan hukum. Kita tak ingin polisi kita, yang seharusnya melayani dan melindungi masyarakat luas, justru terjebak keharusan melayani segelintir orang—apalagi kalau ia berasal dari golongan yang beranggapan "tak ada makan siang yang gratis".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo