Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Gugatan Dua Buron Century

19 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HEBAT betul para bandit di negeri ini. Sudah menggarong uang rakyat, punya tempat khusus pula di hati para politikus dan pejabat negara. Nasib "mujur" itulah yang tampaknya sedang dinikmati Rafat Ali Rizvi dan Hesham al-Waraq. Dua buron eks pemilik Bank Century yang sudah divonis 15 tahun penjara itu kini seolah-olah punya corong di Senayan. Para politikus pun riang "membeli jualan" mereka.

Keriuhan bersumber dari lembaga International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Amerika Serikat. Pada Mei lalu, Rafat, warga negara Inggris keturunan Pakistan, mendaftarkan gugatan kasus Bank Century ke pengadilan arbitrase internasional itu. Tiga bulan kemudian, langkah ini diikuti Hesham, warga Arab Saudi kelahiran Mesir. Keduanya menggugat pemerintah Indonesia lantaran merasa hak kepemilikannya atas Century dirampas, setelah bank itu diambil alih pada September 2008.

Pendaftaran gugatan Rafat bisa diterima karena Indonesia dan Inggris sama-sama anggota ICSID. Sedangkan pengajuan Hesham ditolak. Penyebabnya, Arab Saudi bukan anggota lembaga arbitrase internasional itu. Bagaimana jalannya proses gugatan, semula tak banyak yang tahu. Publik baru ramai setelah kabar ini disuarakan para inisiator Panitia Khusus Century di Dewan Perwakilan Rakyat.

Bambang Soesatyo dari Fraksi Golkar-lah yang getol menyiarkan kabar itu. Dalam siaran pers, ia hakulyakin menyatakan pemerintah sudah kalah dan harus membayar ganti rugi Rp 4 triliun. Akibatnya, total dana penyelamatan Century bakal membengkak menjadi Rp 10,7 triliun. Bambang pun percaya kepada Rafat bahwa pemerintah sesungguhnya tak perlu menggelontorkan duit penyelamatan Rp 6,7 triliun ke Century—cukup Rp 632 miliar—sehingga dia dan Hesham tak terpental.

Berbekal isu yang "dijual" Rafat itulah sejumlah anggota tim pengawas Century kini seolah-olah mendapat Viagra baru. Api kasus Century yang mulai redup siap dinyalakan kembali. Alasannya, kekalahan di arbitrase kian membuktikan adanya penyalahgunaan wewenang dan penyelewengan dana bailout. Ini pula yang disebut Akbar Faisal, inisiator Panitia Khusus lainnya, sebagai peluru baru untuk mengusut kasus Century, baik secara hukum maupun politik.

Cara kerja beberapa anggota Dewan itu sungguh jauh dari memadai, bahkan sangat teledor. Faktanya, kemenangan Rafat yang digembar-gemborkan ternyata hanya isapan jempol. Pengadilan belum digelar sama sekali. Bahkan kesepakatan penunjukan majelis tribunal belum ada. Yang dilakukan baru sebatas penunjukan seorang arbiter oleh kedua pihak yang bersengketa. Kelayakan gugatan Rafat juga masih akan diuji. Kalaupun itu lolos, keputusan sidang diperkirakan baru akan keluar satu-dua tahun kemudian.

Melihat fakta ini, justru muncul pertanyaan besar, ada apa di balik sikap para anggota Dewan yang terkesan berpihak kepada Rafat dan Hesham. Dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, jelas dipaparkan polah keduanya lewat First Gulf Asia Holding, yang ikut membuat brankas Century bobol dengan nilai kerugian Rp 3,1 triliun. Kerugian ini diindikasikan muncul akibat patgulipat pengelolaan surat-surat berharga valuta asing, yang belakangan macet.

Untuk menyelesaikan tunggakan itu, Rafat dan Hesham memang telah meneken surat komitmen. Tapi, hingga Century sekarat dengan dana di brankas tinggal Rp 20 juta, janji itu belum dipenuhi. Terpaksalah bolong itu akhirnya ditutup oleh dana bailout. Dalam wawancara dengan sejumlah media, Rafat pun pernah membual telah memiliki investor dan siap mengganti seluruh dana talangan Century. Lalu masihkah kita harus mempercayai omongannya, seperti disuarakan para politikus Senayan?

Sudah tepat langkah cepat pemerintah membentuk tim arbitrase pada Juni lalu. Berbagai pengalaman pahit tak boleh terulang. Banyak kekalahan Indonesia di kancah arbitrase, akibat ketidakseriusan negara mengurusnya. Salah satunya kasus Karaha Bodas, yang membuat pemerintah harus merogoh kocek triliunan rupiah untuk membayar ganti rugi. Sebaliknya, kemenangan pemerintah dalam sengketa divestasi saham Newmont di arbitrase Singapura belum lama ini merupakan pengalaman berharga yang harus dirawat.

Perlu juga diwaspadai, keriuhan belakangan ini merupakan serangan balik Rafat dan Hesham untuk membendung gerak pemerintah memburu aset-asetnya di luar negeri. Apalagi upaya polisi meminta pembekuan aset-asetnya, yang ditaksir sekitar Rp 12 triliun, masih membentur sejumlah tembok. Upaya inilah yang seharusnya disokong oleh para anggota Dewan. Bukan justru ikut menjajakan "jualan" sang bandit.

Agar kasus Century benderang, rencana Dewan membiayai audit forensik oleh auditor independen internasional perlu segera direalisasi. Dengan begitu, yang salah bisa segera dihukum. Sebaliknya, jika tak terbukti ada penyelewengan, panggung Century bagi para oportunis politik bisa segera ditutup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus