Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jim Supangkat
Porno”, salah satu istilah dalam khazanah bahasa ”gaul”. Pengertiannya, seperti istilah pergaulan lain, fleksibel. ”Porno” punya sederet makna yang mustahil seluruhnya bisa dikenali. Menilik sebagian saja pengertiannya, ”porno” bisa berarti telanjang, bisa berarti seronok, bisa berarti sensual, bisa sekadar berarti ”sexy”, bisa cuma berarti ”wah”.
Ketika digunakan, istilah ”porno” tidak pernah diimbuhi keterangan makna yang mana yang sedang dioperasikan. Lawan bicara juga tidak pernah merasa perlu menanyakannya. Pengertiannya disepakati, kira-kira saja. Penyanyi dang-dut yang goyangnya bersemangat disebut porno tanpa maksud menganggap tingkah lakunya cabul. Perempuan yang menggunakan blue jeans di bawah garis pinggang dikatakan porno dalam gurauan ABG. Lukisan nude sering juga disebut lukisan porno tidak dengan maksud melihatnya sebagai pornografi. Anjing kawin di pinggir jalan kendati tidak ”wah” porno juga dalam bahasa ”gaul”.
Sungguh sebuah keanehan apabila pasal-pasal pornografi dalam RUU KUHP Tindak Pidana Kesusilaan yang kini diajukan ke DPR seperti bertumpu pada istilah ”porno” itu. Berangkat dari pengertian kira-kira, pemikiran tentang pornografi pada RUU ini terjebak pada generalisasi yang tidak teliti.
Pasal-pasal pornografi dalam RUU itu secara umum bisa dibaca: semua hal yang berkaitan dengan seksualitas, ketelanjangan, sensualitas, dan percintaan dalam kehidupan punya cuma satu dasar: pornografi. Padahal lingkup spektrum seksualitas, ketelanjangan, sensualitas, dan percintaan sangat luas dalam kehidupan. RUU ini bisa dibaca juga menyatakan, karya seni (film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan lukisan) yang menampilkan ketelanjangan, seksualitas, dan sensualitas termasuk pornografi. Padahal, dalam masyarakat berbudaya di mana pun di dunia, sudah terbentuk persepsi umum yang melihat dengan jelas batas di antara pornografi dan kesenian.
Penyusunan RUU Tindak Pidana Kesusilaan tidak berangkat dari pertanyaan apakah pornografi itu. Pemikirannya juga tidak merasa perlu menentukan lingkup pornografi untuk membuat rambu-rambunya.
Isitilah ”pornografi” yang jelas-jelas digunakan dalam RUU itu berasal dari penggabungan dua kata, yaitu pornê dan graphos. Kata pornê mengandung arti prostitusi atau pelacuran, dan kata graphos mengandung arti tulisan atau gambar. Berkaitan dengan makna kata-kata ini identifikasi pornografi yang paling umum adalah tulisan atau gambar yang memancing kesenangan seksual seperti kesenangan seksual dalam pelacuran. Sifat yang dekat dengan pelacuran merupakan persoalan pokok masalah pornografi.
Pelacuran adalah praktek dengan kesenangan seksual dijadikan komoditas untuk mencari keuntungan. Dilakukan dengan memperdagangkan manusia (pelacur). Pornografi memperlihatkan kesamaan mendasar. Namun komodifikasi kesenangan seksual dalam pornografi dilakukan tidak dengan cara memperdagangkan pelacur, tapi dengan memproduksi dan mendistribusikan gambar, foto, film, dan tulisan yang memancing kesenangan seksual.
Melihat pengertian itu, pornografi tidak bisa dilihat sederhana sebagai kecabulan atau tindakan asusila. Dengan latar belakang sosial Dunia Ketiga, praktek mengusahakan pornografi, seperti juga pelacuran, merupakan kejahatan yang seharusnya dihukum berat. Terjebak pada pengertian porno dalam bahasa pergaulan, penyusunan pasal-pasal pornografi dalam RUU Tindak Pidana Kesusilaan tidak mempertimbangkan latar belakang pornografi ini.
Dengan sendirinya penyusunan RUU itu memperlihatkan proses pemikiran yang tidak cermat sejak dasar pemikirannya. Persoalan pornografi dalam RUU ini tidak didasarkan pada konteks pornografi tapi konteks ini: ”setiap orang yang melanggar kesusilaan di muka umum”. Dampaknya, RUU ini bisa memukul balik tujuannya. Sasarannya bukan praktek di balik pornografi, tapi masyarakat yang tadinya akan dilindungi dari produk pornografi.
Dasar pemikiran yang tidak cermat dengan sendirinya mempengaruhi seluruh konstruksi RUU itu. Kenyataan ini tercermin dalam pembentukan istilah ”pornoaksi” yang dalam RUU Tindak Pidana Kesusilaan punya pasal-pasal tersendiri. Dilihat dari pembentukannya, istilah ini sudah terasa janggal. Pembentukannya yang tidak mengikuti hukum DM bahasa Indonesia seperti ingin mengesankan istilah ini berasal dari penerjemahan ”porno-action”. Padahal istilah ”porno-action’ dalam bahasa mana pun tidak ada karena tidak ada dasar yang nalar bagi pembentukannya.
Kalaupun dipaksakan dipahami sebagai ”aksi pornografis”, pengertiannya menjadi semakin tidak masuk akal. Pornoaksi dalam RUU itu disebutkan, antara lain, setiap orang yang memperlihatkan bagian tubuh yang sensual di muka umum, dan setiap orang yang menari atau bergoyang erotis di muka umum.
Dalam keseharian, semua perempuan yang memakai rok mini atau gaun backless atau baju tank top bisa dilihat sebagai delik pornoaksi. Bila ditelaah berdasarkan istilah ”porno” dalam pengertian pornografi, delik pornoaksi ini bisa dipertanyakan nalarnya. Apa masuk di akal sehat menganggap semua perempuan ini pengusaha seks yang sedang menjajakan kesenangan seks kepada laki-laki dengan menjadikan tubuhnya sendiri obyek seks?
Pemikiran tidak cermat di balik istilah pornoaksi itu kembali bisa memukul balik tujuan penyusunan RUU Tindak Pidana Kesusilaan. Kendati dimaksudkan untuk semua orang, delik-delik pornoaksi dalam RUU ini mengancam perempuan. Di luar konteks homoseksual, tidak lazim menganggap laki-laki yang menggunakan celana mini, kemeja backless, atau baju tank top merangsang secara seksual. Ancaman pada perempuan ini sebuah ironi penetapan delik-delik pornoaksi karena perempuan justru korban pornografi.
Pada 1979, ketika pornografi mengalami boom di Eropa dan Amerika, di Prancis terbit buku berjudul Les Femmes, La Pornographie, L’érotisme (Perempuan, Pornografi, Erotisisme). Buku ini, yang ditulis dua wartawan, Marie-Françoise Hans dan Gilles Lapounge, menampilkan hasil wawancara dengan ratusan perempuan dari berbagai lapisan masyarakat di hampir seluruh Eropa. Buku ini menampilkan pula hasil diskusi kedua penulis dengan sejumlah perempuan tokoh—filosof, penyair, psikolog, novelis, seksolog, seniman, pengusaha, dan feminis. Di antaranya pemikir Luce Irigay. Pertanyaan mendasar dalam wawancara dan diskusi ini: apa pendapat perempuan tentang pornografi?
Pandangan paling dominan dalam hasil wawancara dan diskusi itu adalah pornografi bukan untuk perempuan. Pornografi dibuat oleh laki-laki untuk laki-laki. Seksualitas perempuan dalam pornografi bukan seksualitas perempuan yang sebenarnya, tapi seksualitas perempuan dalam imajinasi laki-laki. Karena itu para perempuan dalam buku ini bersama-sama menegaskan, perempuan yang dijadikan materi utama dalam pornografi sama sekali bukan pangkal pornografi. Perempuan justru korban karena tubuh dan ilusi tentang seksualitasnya dijadikan obyek seks laki-laki.
Menimbang kesimpulan dalam buku itu, tidak sulit memahami ironi pornoaksi: perempuan yang menjadi korban pornografi, kembali menjadi korban pada upaya melawan pornografi. Karena ironi semacam ini, RUU Tindak Pidana Kesusilaan menuai banyak reaksi dan protes yang sebenarnya bukan tidak setuju pada upaya mencegah penyebaran pornografi.
Bila RUU Tindak Pidana Kesusilaan disetujui DPR, delik-delik pornoaksi itu akan membawa kita, sebagai bangsa modern, mundur dua abad. Kembali ke abad ke-19, ke suatu masa yang disebut era Victorian. Era perkembangan ini ditandai perkembangan hukum Kerajaan Inggris di bawah pemerintahan Ratu Alexandrina Victoria (1837-1901).
Dalam sejarah perkembangan negara modern sekuler, era Victorian dikenal sebagai era tatkala kekuasaan hukum secara progresif mengatur kehidupan pribadi masyarakat. Konstruksi hukum ini menenggelamkan persoalan seksual dari kehidupan sosial sehari-hari. Seksualitas yang muncul ke publik ditetapkan sebagai delik hukum kriminal.
Keadaan itu merupakan puncak ketegangan yang berlangsung sejak abad ke-16. Ketegangan di antara upaya membangun hukum sekuler yang membuka ruang bagi hak-hak individu dan ketentuan-ketentuan agama. Konteks hukum sekuler dalam negara modern ini membuat persoalan hukum pada era Victorian harus dilihat di luar persoalan hukum agama mengatur umatnya, yang harus dihormati pada zaman kapan pun.
Penerapan hukum yang represif itu punya dampak budaya. Pada era Victorian itu, perintis psikologi Sigmund Freud menegakkan teori Libido Seksualis (1899). Teori ini melihat semua apsek pada perilaku manusia berpangkal pada seksualitas. Teori ini sudah tidak dipercaya lagi karena kesimpulannya terungkap berkaitan langsung dengan keadaan masyarakat Barat pada era Victorian. Keadaan ketika seksualitas mengalami represi ini ditemukan para peneliti di kemudian hari, membuat orang-orang Eropa yang diteliti Freud secara obsesif justru cuma memikirkan seks.
Pornografi dalam bentuknya yang sekarang muncul pada era Victorian itu. Beredar secara gelap dalam bentuk foto dan biografi-biografi kehidupan seksual. Penyimpangan seksual yang aneh-aneh, yang masih tampil pada pornografi Barat sekarang ini, merebak pada era Victorian itu juga.
Akhirnya kita bertanya, akankah kita menjadikan era kehidupan kita di bawah pemerintahan SBY dilihat sejarah di kemudian hari seperti sejarah dunia modern melihat era Victorian. Bukan karena ketegangan pandangan-pandangan etika moral, tapi cuma karena pemikiran tidak cermat di balik penyusunan RUU KUHP Tindak Pidana Kesusilaan yang kemudian dirayakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo