Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benny Mailili
Pemerintah jangan cuma merasa kecewa dengan terpuruknya prestasi olahraga bangsa ini, kemudian organisasi olahraga seolah dinilai tidak becus mengurus olahraga. Kini pemerintah harus berani berkaca diri untuk mengakui bahwa sesungguhnya keterpurukan olahraga kita karena kekurangpedulian mereka.
Dalam sejarahnya, olahraga mula-mula tumbuh dari masyarakat. Perkumpulan olahraga seperti Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), lahir sejak sebelum Indonesia merdeka. Selain sebagai alat pemersatu, tujuannya ingin menunjukkan bangsa ini bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendahnya di arena olahraga dengan sang penjajah.
Hanya, Bung Karno memberikan perhatian yang amat besar terhadap olahraga setelah Indonesia merdeka. Dia bilang: olahraga adalah sarana pembentukan karakter dan bangsa. Departemen yang khusus mengurusi olahraga pun dibentuk. Jangan heran jika kemudian olahraga kita berkembang pesat. Dalam Asian Games 1962 yang digelar di Jakarta, Indonesia termasuk dalam tiga negara terbaik dalam pengumpulan medali. Sarengat bahkan tercatat sebagai manusia Indonesia tercepat di Asia.
Olahraga kita mulai terpuruk karena kurang diperhatikan pemerintah setelah Orde Baru lahir. Saat itu departemen olahraga dengan kewenangannya yang besar pun disunat menjadi sebuah kementerian negara yang nondepartemen.
Walau prestasi olahraga kita hancur, ada pelipur duka yang muncul pada penghujung 2005. Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No. 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Tentu, ini bukan lampu Aladin yang bisa langsung mengatasi permasalahan kompleks di dunia olahraga, tapi ada hal-hal yang memberi harapan.
Sejumlah pasal dalam undang-undang itu bisa dijadikan pijakan untuk menata organisasi dan atlet dalam jangka panjang dan secara berkesinambungan. Ambil contoh Pasal 86 tentang penghargaan bagi insan olahraga. Di situ tercantum banyak bentuk penghargaan yang bisa diberikan kepada atlet.
Penghargaan itu bagus, namun bagi saya bentuk penghargaan yang paling pas adalah uang pensiun. Kalau pemerintah bisa memberikan tunjangan pensiun pada pegawai negeri, kenapa kepada atlet tidak bisa? Kenyataannya, atlet tidak kalah darma baktinya kepada negara. Mereka bahkan telah mengangkat harkat dan martabat bangsa di dunia internasional. Jangka waktu pengabdian mereka pun terbilang lama, sampai puluhan tahun. Uang pensiun mereka bisa disesuaikan dengan tingkat prestasi yang telah mereka raih. Hal ini sudah diterapkan di Korea dan Cina.
Pasal 73 juga amat penting. Inilah pasal tentang pengaturan pajak bagi setiap orang/badan usaha yang memberikan dukungan dana untuk pembinaan keolahragaan. Kebijakan ini merupakan terobosan baru. Dunia usaha atau perorangan yang nyata-nyata berperan aktif memajukan dunia olahraga bisa diberi insentif berupa tax deducted.
Cara ini telah lama digunakan di negara-negara yang telah maju olahraganya.
Begitu pula Pasal 69 ayat 2 tentang dana keolahragaan. Kini pemerintah harus berani menetapkan besaran dana olahraga dalam APBN atau APBD. Tanpa keberanian ini, prestasi olahraga kita akan terus mati suri. Apalagi bila kita kaitkan ke Pasal 40 tentang kemandirian pimpinan komite olahraga nasional, komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota. Kini mereka tidak boleh lagi terikat pada jabatan publik.
Lewat undang-undang tersebut dimungkinkan pula munculnya komite olimpiade Indonesia di luar komite olahraga nasional. Hal ini perlu dicermati. Kita memang sudah pernah memiliki dua organisasi olahraga dengan dua pimpinan. Pada 1946 kita mempunyai Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) dan Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI). Keduanya lalu dilebur menjadi Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pada 1951.
Di awal Orde Baru, sempat ada juga dua lembaga: KOI yang dipimpin oleh Sri Paku Alam VIII dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang diketuai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada 1976, dua organisasi ini disatukan dalam satu wadah KONI karena dianggap akan lebih efektif. Jika sekarang lembaga semacam KOI ingin dihidupkan lagi, mungkin kita juga harus belajar dari sejarah.
Kini masyarakat olahraga menanti munculnya peraturan pemerintah atau peraturan presiden sebagai aturan pelaksanaan UU No. 3/2005. Jangan sampai peraturan itu mengabaikan kepentingan masyarakat olahraga.
Selama ini olahraga kita terpuruk bukan karena lembaga atau organisasinya. Kesalahannya terletak pada sistem dan sumber daya manusianya. Banyak organisasi olahraga yang belum mengedepankan sistem pembinaan berjenjang dan berkesinambungan. Selain itu, kucuran dana pemerintah buat pembinaan atlet juga amat kecil.
Dengan adanya peraturan yang memihak dunia olahraga, mudah-mudahnya prestasi kita bisa melejit lagi. Bagaimanapun, naik-turunnya prestasi atlet bangsa ini amat bergantung pada seberapa besar kepedulian pemerintah terhadap olahraga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo