Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Habibie dan Komas

10 Mei 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Riswanda Imawan UMUM tahu, di bidang teknologi, kemampuan Presiden Habibie tidak diragukan. Tapi, dalam bidang politik, kemampuannya nyaris nol. Tidak perlu heran. Sejak kembali dari Jerman dan langsung menjadi elite di negeri ini, Habibie selalu bergelut dengan angka dan rumus yang serba pasti. Segera setelah kembali ke Indonesia, dia menyatakan tidak mau tahu soal politik. Dia merasa dilahirkan untuk hidup dalam dunia teknologi. Maka, selama tiga dasawarsa, dia asyik menikmati fasilitas dan kemanjaan yang disediakan rezim Soeharto demi mewujudkan obsesi sang patron. Nasib berkata lain. Teknolog andal ini menjadi wakil presiden, lalu dalam hitungan minggu menjadi presiden. Sekarang dia harus masuk ke dunia yang dulu dibencinya. Tiba-tiba saja dia berada di pusat dunia yang tidak mengenal rumus ilmu pastinya. Tiba-tiba dia harus "mengenal manusia", bahkan "manusia politik", yang selalu berupaya menggunakan orang lain untuk memaksimalkan kepentingannya. Wajar bila Habibie gamang dengan dunia barunya. Dan tidak wajar bila dia merasa tahu tentang dunia barunya itu. Akibatnya, manuver ataupun kebijakan politik yang diambil sering membingungkan daripada memberikan kepastian pada masyarakat. Timor Timur mau merdeka? Silakan. Tawaran itu disampaikan dengan sangat ringan, tanpa terpikirkan dampak berantainya pada daerah-daerah lain yang selama ini merasa dianaktirikan oleh Jakarta. Bahkan, hal itu tanpa menimbang dampak psikologis pada para pejuang dan janda Operasi Seroja, yang harus berkorban demi bangsa dan negara demi keutuhan Republik Indonesia. Itu hanya satu contoh. Masyarakat berharap Presiden belajar dari kekeliruan yang dilakukannya yang membuat repot orang banyak. Tapi Habibie tampaknya sangat yakin akan kemampuannya. Akibatnya, kesalahan lebih fatal terjadi. Dengan mantap Presiden Habibie meminta masyarakat mewaspadai bahaya yang dibawa oleh komunisme-marhaenisme-sosialisme (komas). Keruan, banyak orang terbelalak. Pernyataan ini justru memberikan bukti yang makin kuat bahwa presiden kita ini benar-benar tidak tahu soal politik Menyamakan komunisme, marhaenisme, dan sosialisme adalah satu kesalahan besar. Mendudukkan ketiganya sebagai lawan dari integrasi politik juga tidak dapat dibenarkan. Bahkan, sejarah mencatat bahwa marhaenisme justru menjadi landasan terbentuknya nation Indonesia. Marhaenisme justru menjadi alternatif yang mampu mewadahi berbagai perbedaan kepentingan ataupun latar belakang sosial masyarakat Indonesia, sehingga integrasi bangsa Indonesia dapat cepat tercipta dan terpelihara. Marhaenisme menyadarkan segala lapisan masyarakat Indonesia akan kesamaan kondisi yang dihadapi, yang membuat kita semua melarat dan powerless, serta cita-cita yang hendak dicapai. Komunisme-marhaenisme-sosialisme bisa digunakan sebagai paradigma, pandangan hidup, atau ideologi. Sejarah mencatat bahwa isme-isme ini lebih dikenal sebagai ideologi ketimbang fungsinya yang lain. Yang kita tolak adalah bila isme-isme ini (terutama komunisme) diperlakukan sebagai ideologi yang potensial mengedepankan dimensi disintegratifnya. Mengingat banyaknya pakar di seputar Presiden Habibie, sangat tidak mungkin bila Habibie tidak memiliki pengetahuan elementer tentang ketiganya ini. Lalu, mengapa sampai Presiden melemparkan isu yang sangat sensitif ini? Apalagi pelaksanaan Pemilu 1999 tinggal 4 minggu lagi. Wallahualam. Tapi, bila mengingat kelemahannya di bidang politik, sangat mungkin Presiden Habibie menyuarakan kepentingan rezim daripada kepentingan pribadinya. Sebab, lontaran isu dapat membuatnya terpuruk dalam bursa calon presiden. Bila asumsi ini benar, ada dua kemungkinan penjelasan yang bisa diajukan. Pertama, lontaran isu ini merupakan strategi pengalihan perhatian massa dari tekanan masalah nasional yang sangat kompleks, dari soal yang bisa menyudutkan dirinya sendiri, seperti pengusutan KKN Soeharto, soal kebocoran dana JPS yang memalukan, sampai soal yang secara langsung menohok integrasi bangsa seperti soal Tim-Tim, Ambon, Sambas, Aceh, dan Irianjaya. Susahnya, rezim Habibie memandang masalah itu muncul dari masyarakat, bukan dari kebijakan pemerintah yang diambil, yang membuat masyarakat resah. Gaya kepemimpinan Habibie tetap menganut pola hit and run, memunculkan isu baru untuk menghapus isu lama yang mulai memojokkan pemerintahannya. Mulai terciumnya aroma KKN dalam pemerintahan Habibie, misalnya, jelas membuat masyarakat sangsi apakah dia mampu mewujudkan reformasi total yang diinginkan masyarakat. Kedua, negara mencari "musuh baru" yang bisa dimanfaatkan sebagai celah bagi masuknya kembali praktek represi politik demi pemeliharaan status quo, sekalipun dalam bingkai penegakan hukum. Habibie boleh mengaku tidak terkait (lagi) dengan Soeharto. Tapi, sebagai (mantan) murid, pola pemikiran Habibie di bidang politik tidak akan jauh dari pola yang dikenalkan oleh gurunya: strong government dan strong leader. Pengalaman sang guru membuktikan bahwa strong government dan strong leader secara efektif dilakukan melalui represi politik, divide et impera, serta penciptaan simbol musuh bersama untuk membina cohesiveness para pendukung rezim yang akhir-akhir ini luntur. Rezim Habibie tampaknya tidak menyadari bahwa demokratisasi yang menjadi roh reformasi di Indonesia justru tidak menghendaki kemunculan kembali strong government. Masyarakat menghendaki kesejajaran tawar-menawar antara negara dan rakyat, sehingga hubungan keduanya bersifat konsultatif, bukan konfrontatif seperti yang terjadi di masa rezim Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus