Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Memahami 'Eksodus' Tionghoa

10 Mei 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Leo Suryadinata Pengamat politik yang kini mengajar di Universitas Nasional Singapura Akankah "eksodus" warga keturunan terulang kembali? Coba simak kabar berikut ini. Semua tempat kapal terbang untuk pertengahan Mei sampai pemilu nanti telah dipesan habis. Banyak keluarga juga sudah siap-siap untuk berangkat ke tempat yang lebih aman. Sebab, tersebar desas-desus bahwa kalau ada keributan, malapetaka yang lebih besar akan menimpa masyarakat nonpri, khususnya etnis Tionghoa. Rupanya, ada kelompok yang ingin meneror etnis Tionghoa lagi. Namun, pemerintahan Habibie tidak mau memahami realitas sosial ini. Etnis Tionghoa tetap saja disalahkan. Mereka dicela dan dituding tidak patriotik. Pemerintah khawatir, eksodus etnis Tionghoa ini akan mempengaruhi suasana pemilu dan stabilitas politik di Indonesia. Padahal, instabilitas politik di dalam negeri bukan perkara baru. Setahun sebelum Soeharto turun, keadaan sudah sangat gawat. Krisis moneter membuat keadaan lebih parah. Pemerintah pusat akhirnya tumbang dan diganti oleh "Orde Reformasi" di bawah B.J. Habibie, yang merupakan kepanjangan Orde Baru. Legitimasi pemerintahan transisi yang baru ini masih banyak dipertanyakan orang. Dan sejak mereka berkuasa, Nusantara tidak pernah benar-benar stabil. Kerusuhan tidak kunjung lenyap. Sebenarnya, di Indonesia terjadi semacam kemerosotan otoritas (decline of authority). Pemerintah pusat tidak lagi berwibawa dan kekuatannya melemah. Wewenang pemerintah pusat tidak dihiraukan di daerah. Kerusuhan dan bentrokan bersifat SARA tidak bisa ditangani secara pesat dan sempurna. Tidaklah mengherankan kalau Timor Timur, Irianjaya, Kalimantan, Aceh, dan bahkan Ambon kacau terus-menerus. Di kota-kota besar dan kecil, keamanan memburuk. Karena itu, pemerintah dan masyarakat awam melihat pemilu sebagai satu-satunya jalan keluar. Kalau pemilu terlaksana dengan jujur dan adil, legitimasi pemerintah baru akan terjamin. Menurut teori ilmu politik, pemerintah yang berlegitimasi akan berwibawa dan mendapat dukungan rakyat. Dengan kata lain, pemerintah semacam ini akan lebih efektif. Namun, banyak etnis Tionghoa, yang telah mengalami trauma Mei 1998, merasa tidak aman berada di Indonesia menjelang pemilu, terutama mereka yang punya anak perempuan. Karena takut menjadi kambing sedekah lagi, mereka yang mampu telah bersedia untuk "mengungsi sementara" di luar negeri. Kebetulan bulan Mei ini juga bulan libur bagi sekolah. Tapi kali ini rupanya mendung kerusuhanlah yang lebih mendorong etnis Tionghoa itu bersiap-siap meninggalkan tanah airnya. Jadi, eksodus yang dibayangkan ini disebabkan oleh persepsi bahwa negara tidak lagi mampu menyelamatkan warga etnis Tionghoa. Haruskah orang-orang yang mencari keselamatan karena merasa tidak terlindungi ini dikutuk? Pertanyaan ini sebetulnya mudah dijawab. Kalau kita percaya kepada hak asasi manusia, hak keselamatan (security right) merupakan bagian dari hak asasi. Selama negara tidak bisa menjamin keselamatan warganya dan warga tersebut tidak bisa membela diri, apa salahnya kalau mereka lari menyelamatkan diri daripada menunggu dibantai? Apakah para "pengungsi" itu tidak patriotik? Tergantung apa definisinya patriotisme. Yang pasti, tidak semua orang bisa menjadi satria atau Srikandi, baik nonpri maupun pri. Ketika globalisasi ekonomi bermula, banyak etnis Tionghoa yang telah memboyong harta mereka ke luar negeri. Mungkin saja benar, pada Mei tahun lalu, untuk menyelamatkan kapital, banyak harta mereka yang dipindahkan ke luar negeri. Ada yang menaksir kira-kira US$ 30-80 miliar lari ke negara asing. Kakap-kakap alias konglomerat yang besar jelas bisa berbuat demikian. Tapi berapa etnis Tionghoa yang termasuk kakap besar ini? Ratusan? Katakanlah ratusan. Tapi etnis Tionghoa berjumlah lebih dari 6 juta, atau 3 persen dari penduduk Indonesia. Yang terbanyak adalah kelas menengah dan bawah. Dalam kerusuhan Mei, mereka inilah yang menderita, bukan kakap-kakap yang besar. Yang paling penting, lebih dari 98 persen etnis Tionghoa masih tetap bercokol di bumi Indonesia sebelum dan sesudah kerusuhan Mei! Saya kira salah wesel jika kita mengambil segelintir cukong dan mereka yang mampu ke luar negeri saja sebagai contoh masyarakat Tionghoa. Padahal, mayoritas dari mereka tidak bisa meninggalkan bumi pertiwi. Indonesia adalah satu-satunya negara bagi orang-orang yang disebut "nonpri" ini. Sebetulnya, setelah kerusuhan Mei, masyarakat Tionghoa di Indonesia banyak yang sadar bahwa mereka harus memperjuangkan nasibnya sendiri. Mereka tidak bisa ke mana-mana. Jadi, mereka bergerak dalam bidang sosial dan politik, meskipun haluan politik mereka tidak selalu sama, karena masyarakat Tionghoa kelompok majemuk. Ada yang mau mendirikan partai dan organisasi etnis, ada pula yang mau melebur ke dalam partai dan organisasi yang didominasi oleh pri. Tapi umumnya mereka sadar bahwa keselamatan mereka baru bisa terjamin jika mereka memperoleh simpati dan lindungan dari pri, yang memang menjadi mayoritas. Namun, bertepuk tangan harus dengan dua tangan. Rupanya, prasangka terhadap minoritas Tionghoa itu begitu mendalam, dan yang ditonjolkan hanya yang buruk-buruknya. Tionghoa atau Cina disamakan dengan keburukan dan kejahatan. Kepribumian dianggap sebagai suatu keindahan dan keluhuran. Rupanya, ada semacam pemujaan "kepribumian". Konsep bangsa Indonesia itu diinterpretasikan sebagai bangsa pribumi. Jadi, orang yang bukan pribumi tidak bisa menjadi bangsa Indonesia sejati. Sampai sekarang, tidak ada pahlawan nasional yang etnis Tionghoa. Pemerintah selama ini masih kurang tegas dalam melindungi hak-hak asasi manusia, termasuk hak-hak minoritas Tionghoa. Banyak peraturan diskriminatif yang masih saja berlaku. Sikap kepala negara terhadap etnis Tionghoa yang "mengungsi" pun tidak membantu: kadang mengimbau agar mereka kembali, kadang mengecam. Ucapan seperti "Indonesia tidak akan ambruk tanpa etnis Tionghoa" dan "kalau mereka tidak pulang, kedudukan mereka akan digantikan oleh orang lain" tidak pantas diucapkan. Padahal, Indonesia memerlukan segala kekuatan untuk mengatasi krisis ekonomi dan mempersatukan bangsa yang diancam disintegrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus