Kolom Fachry Ali berjudul Politik di Baitullah (TEMPO, 5 September), enak dibaca dan perlu. Dengan mengutip Van der Meulen, Fachry menyoroti "konsistensi sikap penguasa Saudi dari dulu sampai sekarang, terhadap ibadat haji dan politik". Dinasti Saud -- menyebar dari kebijaksanaan pendahulunya -- mengharamkan aksi-aksi politik dalam ibadat haji. Syarif Husain (1916-1942), yang dijungkalkan oleh Abdulaziz al-Sa'ud, penghulu dinasti ini, memang biasa memanfaatkan musim haji untuk menyelenggarakan konperensi-konperensi internasional. Pada musim haji 1924 misalnya delegasi haji dari berbagai negeri muslim diajak Abdulaziz al-Sa'ud memperbincangkan dan mengutuk Mandat Palestina, Deklarasi Balfour, dan, di atas segalanya, menyerukan persatuan Islam. Salah satu dakwaan yang dilemparkan kepada Syarif Husain sehingga menggoyangkan posisinya, bahwa ia telah menyusupkan "politik sekular" ke dalam penyelenggaraan ibadat haji yang "murni agamawi". Setelah dua tahun berkuasa, Abdulaziz pun menyelenggarakan Kongres Islam, terutama untuk membicarakan persoalan pengelolaan Tanah Haram. Para anggota delegasi diminta tidak memperbincangkan masalah-masalah politik negara-negara muslim. Pada musim haji 1937 ia bahkan melarang Komisi Tertinggi Arab untuk Palestina menyelenggarakan suatu konperensi di Mekah. Pada gilirannya -- meski Fachry, sekali lagi, mengutip Meulen, menyebut-nyebutnya sebagai pengagum Snouck Hurgronye -- Raja Faisal menyebal dari tradisi dinastinya. Khususnya pada musim haji 1966, ia menyelenggarakan banquet untuk para kepala delegasi haji Di situ Faisal menyerukan persatuan Islam menghadapi makar "kekuatan-kekuatan setan imperialisme, komunisme dan zionisme". Lebih jauh, pada 1968, raja yang saleh ini mengutuk penodaan Masjid al-Aqsa oleh Israel dan menyerukan kepada kaum muslimin seluruh dunia agar bersatu untuk bangkit membela agama dan tempat-tempat sucinya. Pada musim haji yang sama, ia mengizinkan Ibrahim Zaid al-Kilani, seorang komentator radio asal Yordania, menyiarluaskan pernyataan mengutuk Israel dan zionisme. Pada musim haji tahun berikutnya, Raja Faisal menyerukan dilancarkannya jihad untuk membebaskan Yerusalem dan tempat-tempat suci lainnya di Palestina. Masih pada musin haji itu, kelompok Al-Fatah Palestina diizinkan memasyarakatkan dan meneguhkan sikap mereka terhadap Israel demi memperoleh dukungan dari jemaah yang menunaikan ibadat haji pada waktu itu. Hasilnya, fatwa bersama para ulama Arab Saudi, Mesir, Irak, dan Iran, yang menempatkan pemberian dukungan kepada kelompok Palestina ini sebagai suatu kewajiban keagamaan. Propaganda ini disiarkan radio dan televisi ke seluruh dunia muslim. Raja Faisal memang sengaja memanfaatkan kedua media elektronik ini untuk melancarkan propaganda antiimperialisme, Zionisme, dan musuh-musuh Islam lainnya. Alhasil, sepeninggal Raja Faisal, Arab Saudi di bawah Raja Khalid dan Fahd kembali kepada kebijaksanaan pendahulu pra-Faisalnya: politik di musim haji dipandang sebagai barang haram. Karena itu, Mekah -- tak seperti ditulis Fachry -- tidak sepenuhnya "tanpa perubahan sejarah" Tetapi akankah muncul "Faisal-Faisal" lain di masa-masa mendatang, khususnya setelah provokasi Irannya Imam Khomeini? Wallahu a'lam HAIDAR BAQIR Titiran 26 Bandung 40133
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini