Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menunggu Majapahit, di Abad ke-21

Ratusan anggota himpunan penghayat kepercayaan memperingati tahun baru Jawa, 1 Suro 1920 bertepatan 26 Agustus 1987, di Trowulan, eks pusat kerajaan Majapahit. Konon menyambut kejayaan Majapahit.

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAHAYU, Rahayu .... Mereka menangkupkan kedua belah tangan di muka dada. Mereka berdatangan. Kian banyak. Ribuan, berhimpun di Pendopo Agung. Suara salam menggema, menggetarkan udara. Itulah pemandangan di Trowulan, sekitar 15 km sebelah barat Mojokerto, Jawa Timur, Jumat dan Sabtu pekan lalu. Trowulan diduga dulu menjadi pusat Majapahit yang wilayahnya sampai ke Siam. Dan pekan lalu itu, adakah Majapahit hidup kembali? Lihatlah, kirab (prosesi) diikuti lehih dari 00 orang, menjadi pembuka upacara. Tampak di antara iringan orang-orang berbaju lurik, berkain panjang, berblangkon, membawa umbul-umbul. Lalu sepasukan lelaki telanjang dada, bercelana gombrang hingga di bawah lutut, membawa tombak dan perisai bergambar gajah. Beginilah konon pasukan Majapahit dulu kala. Dan kemudian muncul Zahid Husein, Ketua Umum Sumarah. Lalu Sumantri Tjo krowardojo dari Himpunan Kamanungsan. Begitu pula para pimpinan Himuis, Pamengkas, dan Murtitomo Waskito Tunggal. Dari Pemerintah Daerah setempat, hadir Sekwilda, mewakili Bupati Mojokerto dan Gubernur Jawa Timur. Saudara, nama-nama tersebut itu bukan nama tokoh dan aliran silat. Pertemuan ini bukan pula semacam pertemuan rahasia guna menentukan seorang ketua dunia persilatan. Mereka itu anggota HPK, Himpunan Penghayat Kepercayaan -- satu dari ratusan wadah aliran kepercayaan yang kini aktif di Indonesia. Mereka berkumpul untuk memperingati hari besarnya, tahun baru Jawa, 1 Suro 1920, yang jatuh pada 26 Agustus 1987, dan bersamaan dengan dengan 1 Muharam 1409. Inilah sebuah pertemuan aliran kepercayaan terbesar sejak Munas I HPK pada 1971. Puluhan dari ratusan kelompok (paguyuban) beserta sesepuh mereka pun tampak hadir. Hari itu Pendopo Agung, bangunan berbentuk joglo seluas 900 m2 menghadap ke timur, jadi semarak. Pendopo yang dikelilingi pagar tembok bata, setangkup gerbangnya setinggi sekitar 11 meter bergaya Brawijayan -- dari zaman Brawijaya. Di sebelah kiri jalan menuju gerbang berjajar bendera pancawarna. Di sebelah kanannya, umbulumbul berupa lima jajaran janur kuning. Patung Raden Wijaya -- setidaknya begitulah patung ini disebut -- pendiri dan raja pertama Majapahit, di depan pendopo, seperti menjadi pusat pertemuan. Agak ke depan lagi, patung dada Gajah Mada, mahapatih Majapahit yang menyatukan Nusantara, seakan mengawasi jalan plesteran depan pendopo -- siapa tahu ada telik sandi musuh. Dua ekor burung puter putih di dalam sangkar, burung yang dianggap sakral, tergantung di depan. Dua pohon beringin berumur 14 tahun mengapit jalan plesteran tadi, hingga jalan itu terasa teduh dan tenteram. Di situlah, di balik pohon, nama sekalian raja Majapahit diukirkan dengan indah. Dan, lho, juga nama para Pangdam Brawijaya, dituliskan pula di situ. Sebagaimana uba rampe (perlengkapan) upacara-upacara kepercayaan, semua itu punya makna. Gerbang, umbul-umbul, juga janur kuning, melambangkan gapuraning laku atau pintu gerbang perjalanan manusia. Sesaji damar, kembang, bubur, air, santan kanil, bunga pancawarna, bunga setaman, bumbu kinang, dan bumbu kinang jangkep adalah simbol keberadaan diri manusia. Itulah sesaji yang menggambarkan sangkan paraning dumali, asal dan tujuan manusia. Kemudian ada yang disebut Sesaji Suro. Wujudnya, sajian berupa semua jenis hasil bumi. Inilah pertanda rasa syukur atas anugerah Tuhan Yang Maha Esa berupa bumi, air, dan langit kepada bangsa Indonesia. Begitulah menurut segenap pengikut HPK. Selain itu dilakukan pula bebersih. Yakni membersihkan diri dengan jalan puasa, juga membersihkan hak milik dan peninggalan: pusaka, rumah, dan makam leluhur. Itulah lambang laku mawas diri. Dan bila pada upacara peringatan 1 Suro dibacakan kidung dan dibakar kemenyan, inilah yang disebut oleh para pengikut aliran kepercayaan sebagai sujud manembah. "Sebagai tindak berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersama-sama," kata Soewadi, Ketua DPD HPK Jawa Timur, Ketua Panitia Penyelenggara Peringatan 1 Suro di Trowulan itu. Begitu matahari terbenam, umbul-umbul lima warna dinaikkan. Lalu, di malam pertama 1 Suro di Trowulan itu, segenap pengikut HPK melakukan macapatan. Mereka menembangkan kidung-kidung yang mengajak para hadirin agar tetap eling dan dekat kepada-Nya. Sudah sejak Munas I di Yogyakarta, enam belas tahun yang lalu, HPK tiap tahun memperingati 1 Suro. Tempat peringatan berpindah-pindah. Tahun lalu, misalnya, acara dilangsungkan di Alas Purwo, Banyuwangi Jawa Timur. Dan bila tahun ini mereka berkumpul di Trowulan, tampaknya memang ada yang istimewa. "Saya yang menentukan agar acara Suran kali ini di Trowulan," ujar Sumantri Tjokrowardojo, Ketua III DPP HPK. Ceritanya, empat bulan menjelang peringatan 1 Suro tahun lalu, ia ditanya seorang kawannya. Sumantri, 66 tahun, mengaku waktu itu serasa memperoleh dawuh (perintah gaib), langsung menjawab, "Di Trowulan saja. Banyak orang kemudian menduga, pilihan pada Trowulan bukan tanpa alasan. Trowulan sejauh ini dianggap sebagai pusat Kerajaan Majapahit. Dan itu semua agaknya punya makna bagi HPK. Bila tidak, mengapa pula harus "menghidupkan" kembali para laskar Majapahit? Adalah Soewadi, Ketua Panitia Penyelenggara, menyebut-nyebut siklus kejayaan Nusantara abad lampau. Kerajaan Sriwijaya di Palembang berjaya pada abad ke-7. Tujuh abad kemudian, Majapahit juga mengalami masa keemasan. Dengan melihat pola tersebut, kata Soewadi, tujuh abad setelah Majapahit masa kejayaan Nusantara akan kembali. Itu berarti di abad ke-21, masa yang segera kita masuki, sekitar 13 tahun lagi. Dan kata Sumantri, "Dulu, Sabdapalon Noyogenggong menyebut bahwa 500 tahun setelah keruntuhannya, Majapahit akan bangkit kembali." Tapi bagi Sumantri, purnawirawan kolonel TNI Angkatan Darat, tujuh abad itu tak perlu persis. "Sekarang pun," katanya, ramalan Sabdopalon -- konon ia ini abdi Brawijaya terakhir -- "sudah terbukti, dengan lahirnya Pancasila." Demikianlah acara peringatan Suran ini diselenggarakan oleh HPK. Ini bukan suatu kebetulan. Menurut Soewadi, HPK memang diharapkan oleh pemerintah untuk menjadi wadah tunggal aliran kepercayaan. Memang, kini aliran kepercayaan diakui keberadaannya, diberi waktu dalam siaran TVRI guna menayangkan ajarannya. Lebih kuat lagi, Aliran Kepercayaan masuk dalam GBHN 1978-1983 dan 1983-1988. Bahkan kini sudah ada pula Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Memang bukan berada di bawah Departemen Agama, melainkan berada di Direktorat Jenderal Kebudayaan Depertamen P & K. Tapi soal departemen ini tak dipersoalkan benar oleh Soewadi. Yang penting penghayatannya, katanya. Tersebar pula kabar, bila peringatan Suran kali ini besar-besaran, itulah karena peringatan terakhir. Bukannya tak akan ada lagi upacara sesaji 1 Suro. Jelasnya, bila kabar ini benar, 1 Suro tetap akan ada tapi bukan lagi berdasarkan penanggalan yang kini dianut. Menurut sebuah sumber, Suran nanti namanya akan diubah meniadi Majapahitan. Seberapa jauh kabar itu bisa dipercaya? Apakah itu berarti 1 Suro menjadi monopoli HPK dengan semangat Majapahitnya? Adalah Yayasan Hondodento, di Yogyakarta. Organisasi ini memperingati 1 Suro juga, di tempat lain. Yayasan ini lebih mengagungkan kejayaan Prabu Sri Aji Joyoboyo, yang menjadi Raja Kediri pada 1135-1157 silam. Maka, "kilas balik" kebesaran Raja Kediri itu pun diselenggarakan dengan sebuah upacara ziarah di petilasan sang Prabu, di Desa Menang, 13 km dari Kediri, Jawa Timur. Juga Hadi Suhardjo, 61 tahun, pimpinan Murtitomo Waskito Tunggal, yang berpusat di Surabaya. Ia menghadiri upacara Trowulan lebih karena kebetulan, buka karena ia mendukung Majapahitan. Paguyubannya berdasar nilai-nilai kebesaran Pangeran Sambernyowo yang bergelar Mangkunagoro I. "Setiap paguyuban 'kan punya guru dan sejarah masing-masing," kata pensiunan Dinas Pajak itu. Dengan kalimat lain, mengubah Suran menjadi Majapahitan secara umum itu mustahil. Tapi bila itu terjadi, barangkali ini bisa dilihat sebagai upaya "pemurnian ajaran" aliran kepercayaan. Yakni melepaskan segala bau-bau yang bukan Majapahit. Bukankah 1 Suro yang sekarang ini merupakan ciptaan Sultan Agung dari Mataram, yang memeluk Islam, hingga kalender Jawa itu sinkron dengan penanggalan Islam? Bila itu memang terjadi, menarik diamati. Sebab, selama ini dianggap bahwa orang Jawa sangat kuat sikap sinkretismenya. Dan kata seorang pengamat budaya Jawa, "upaya itu bisa diartikan sebagai semangat anti-Mataram." Atau bila dilihat dari teori siklus yang dikemukakan oleh Soewadi, bisa saja peristiwa Trowulan merupakan sikap sejenis dengan sikap "menunggu datangnya ratu adil". Tapi ini sekadar dugaan. Di balik bau kemenyan dan bunga-bunga memang ada yang belum jelas. Happy Sulisyadi & Biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus