Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI sudut pandang karikatural, bulan Mei mungkin bisa disebut "bulan narkoba nasional". Sepuluh hari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempersembahkan ampunan kerahiman untuk "ratu mariyuana" asal Australia, Schapelle Leigh Corby, petugas gabungan dari Badan Narkotika Nasional, Kepolisian Republik Indonesia, dan Direktorat Jenderal Bea-Cukai menangkap seorang bintara TNI Angkatan Udara yang mengurus "impor" 1.412.476 pil ekstasi dari Lianyungan, Shenzhen, Republik Rakyat Cina. Ekstasi dengan berat total sekitar tiga ton ini bernilai lebih dari Rp 500 miliar.
Pada rentang hari yang berdekatan, di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, dan di Medan, petugas juga menggagalkan pemasukan 4,791 kilogram kokain senilai Rp 24 miliar dan 520 gram sabu-sabu yang dikemas dalam dua mangkuk keramik. Memang susah menghubungkan semarak penggiat narkoba ini dengan grasi yang diterima Corby. Tapi tak ada salahnya mengatakan, di tengah jaringan distribusi obat berbahaya internasional, Indonesia dipandang sebagai satu di antara titik strategis yang paling empuk.
Kasus ekstasi dari Cina lebih melukai hati dan mengganggu akal sehat karena kejahatan luar biasa itu dilakukan seorang tentara, yang seharusnya berdiri di barisan pemberantasan kemudaratan. Bertambah pula kemurungan kita ketika mengetahui sang sersan mayor merupakan bagian dari Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI, badan yang susah dipahami hubungannya dengan urusan impor-ekspor—apalagi menyangkut obat bius haram. Dia bertugas di Koperasi Kalta—binaan Badan Intelijen Strategis—dan lewat koperasi itulah "impor" diselenggarakan.
Ada sejumlah kenyataan yang mengkhawatirkan dari perkara ini. Pertama, Kepala Badan Intelijen Strategis mengatakan anak buahnya itu "mencatut nama Bais untuk kemudahan proses impor". Alangkah mudahnya mencatut nama lembaga strategis itu! Kalau seorang bintara saja mampu melakukannya, bisa dibayangkan apa yang dapat dilakukan oleh seorang perwira tinggi, misalnya.
Kedua, sang sersan mayor dikabarkan belum lama bekerja di Koperasi Kalta. Ternyata dalam waktu "belum lama" itu ia mampu memalsukan surat dan stempel koperasi, memalsukan tanda tangan ketua koperasi, dan mencatut nama, sehingga proses pengeluaran kontainer yang berisi ekstasi itu dari pelabuhan lancar belaka. Melihat ragam pekerjaan yang begitu banyak—dan hampir berhasil—masuk akalkah sang sersan mayor bekerja sendirian?
Penyelundupan narkoba tak pernah merupakan pekerjaan individual. Selalu ada jaringan dan mata rantai yang meliputi pemasok, operator lapangan, penadah, dan distribusi. Di hulu sekali ada pemodal atau "investor", yang punya perangkat pengawasan tersendiri untuk mengamankan investasinya. Tentulah menggelikan bila dikatakan sang sersan mayor—yang "oknum" itu—bekerja sendirian mengimpor tiga ton ekstasi dan mendistribusikannya seorang diri pula.
Karena itu, Badan Narkotika Nasional dan Kepolisian seharusnyalah mengungkap kasus ini seterang-terangnya. Menyerahkan pemeriksaan sang sersan mayor semata-mata kepada polisi militer bukanlah tindakan transparan. Bukannya tak percaya, tapi pemeriksaan oleh lembaga lain yang tak satu induk akan lebih menerbitkan keyakinan masyarakat. Hendaklah diingat, kasus narkoba yang ditangani Badan Narkotika Nasional saja selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2010 ada 61 kasus dengan 65 tersangka, sedangkan pada 2011 ada 97 kasus dengan 159 tersangka. Kasus sersan mayor "importir" ini, jika diusut dengan segenap kesungguhan, pasti akan membuka sebuah jaringan besar.
berita terkait di halaman 102
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo