Masa lalu sering memenggal masa depan, dan tragedi pun terjadi. Ketika modernitas tak lagi menebus rasa tenteram, apa lagi yang jadi cadangan batin manusia, selain monumen? Di puing-puing Masjid Manchaji yang dihancurkan orang-orang Hindu yang militan, kini berdiri patung warna jingga Hanuman. Di sekeliling sosok sang dewa kera, buah nyiur dan untaian kembang diletakkan dengan hormat. "Menanglah Hanuman!" teriak orang-orang Hindu di Gujarat itu setelah meluluh-lantakkan masjid. "Menanglah umat Hindu!"
Dan bendera yang berwarna kuning cemerlang itu pun dipasang setelah menara masjid ambruk. Dulu, kata juru bicara Hindu militan itu, di tempat itu ada sebuah candi. Delapan puluh tahun yang lalu, kata mereka, orang Islam menghancurkannya, dan di atasnya didirikan Masjid Manchaji. Dengan demikian, kata mereka, apa yang mereka lakukan hari itu—menghancurkan itu masjid—hanyalah sebuah usaha memulihkan masa lalu.
Mengapa masa lalu harus dipulihkan, belum ada yang bertanya. Hari itu, yang bersuara hanya amarah. Sebab sesuatu yang tak kalah brutal terjadi: di hari Rabu sebelumnya, di Godhra, sejumlah orang Islam melemparkan bom api ke kereta api yang mengangkut orang Hindu yang baru pulang dari sebuah rapat umum untuk mendirikan sebuah kuil di atas masjid yang dihancurkan di India utara. Hampir 60 orang mati.
Pembalasan pun meletup. Kaum militan Hindu mengamuk, membantai ratusan muslim, mengusir mereka dari rumah dan perkampungan yang dibakar. Selama lima hari, lebih dari 500 orang mati. Tak cukup menghabisi tempat tinggal, para militan itu juga meruntuhkan nisan di kuburan, dan sebagai gantinya mereka pasang patung Hanuman. Apa yang tampak muslim harus musnah.
"Menurut adatnya, orang Hindu itu toleran," kata Mohan Patel, seorang pegawai kantor pajak yang ikut dalam gerakan penghancuran masjid itu, kepada wartawan The Washington Post. Tapi "kini orang Hindu terbangun".
Menurut adatnya…. Ternyata, kali ini, dalam hal ini, "adat", bagian dari masa silam itu, telah diabaikan. Tradisi tak dikukuhkan kembali seperti patung Hanuman. Dengan kata lain: orang-orang itu memang memilih. Masa silam itu mereka permak, ibarat sehelai baju yang dipotong dan dijahit kembali agar pas dan pantas buat tubuh di hari ini. Ke mana potongan yang tak terpakai itu dibuang, dan kenapa justru itu yang dianggap tak cocok, semua itu adalah pertanyaan yang selalu dielakkan oleh fundamentalisme. Fundamentalisme, Hindu atau yang lain, menganggap bahwa "fundamen" mereka bukan sesuatu yang sebenarnya telah dipermak oleh hasrat dan kecemasan hari ini. Mereka menganggap itu sesuatu yang datang dari sana, utuh, asli. Yang suci dianggap telah hadir sebelum waktu bergerak. "Kekal" atau "abadi" mirip dengan "lama" atau "kuno" atau "asli". Dengan demikian, yang "baru" berarti asing atau aib. Yang kekal adalah Hanuman. Yang abadi adalah monumen. Yang tak lekang oleh panas adalah berhala dan kitab suci.
Dan masa lalu pun memenggal masa depan. Seakan-akan masa kini (yang mengalir terus) tak berarti apa-apa, bahkan tak ada dalam diri kita. Dan tragedi terjadi. Sebab masa kini sebenarnya tak bisa ditiadakan, kecuali melalui kekerasan, dengan pelbagai jenis dan derajatnya. Ia tak bisa dikorbankan untuk masa lalu, sebagaimana ia tak bisa dikorbankan untuk masa depan.
Ada masanya, memang, manusia meledakkan revolusi. Di momen itu, justru masa depan yang memenggal masa lalu dan mengebiri masa kini. Revolusi Prancis di tahun 1789, seperti halnya Revolusi Rusia di tahun 1917, adalah contoh ketika yang "modern" menemukan pernyataannya yang eksplosif. Agama dan adat yang ada hendak dihapuskan karena keduanya bagian dari zaman yang dianggap mencekik dan mengelabui pikiran. Masa lalu, dalam bentuk feodalisme, dipaparkan sebagai sesuatu yang menyebabkan manusia terjebak. Maka semuanya harus diubah tegas. Masa depan harus dilahirkan. Upaya dan akal budi yang akan melahirkannya.
Semangat "Pencerahan" itu, kita tahu, menjangkau jauh ke luar Eropa. Kemerdekaan nasional di Asia-Afrika adalah lanjutan gelombangnya. India di bawah Nehru dan Indonesia di bawah Sukarno bukan sekadar hendak bebas dari kekuasaan asing. Nasionalisme, seperti yang kita temukan di kedua negeri ini, memang berbeda dengan "Pencerahan" Revolusi Prancis dan Rusia yang memerangi agama. Namun nasionalisme ini juga hendak melahirkan yang baru: sebuah bangsa yang terdiri dari manusia yang tak dibedakan oleh agama, kelas, tradisi, tapi manusia yang universal karena bebas, setara, dan bersaudara.
Tapi, ketika semua ditindas demi masa depan yang indah itu, ada yang menjerit. Sebab yang "baru" tak selamanya indah, yang modern tak biasanya menebus rasa tenteram. Nasionalisme sendiri terkadang tampil represif: untuk persatuan, ia cenderung mendesak orang melupakan adat, nilai, keyakinan, yang berbeda-beda. Diam-diam, oposisi berkerumuk. Ketika nasionalisme dari masa Nehru dan Sukarno tak juga menyebabkan hidup yang lebih baik, orang pun beramai-ramai mengukuhkan "kaum-isme". Kaum saya, bukan bangsa dan kewarganegaraan, yang jadi tumpuan kesetiaan saya. Kaum saya adalah identitas saya, dan identitas itu berakar di masa lalu saya.
Dengan demikian masa depan, juga masa kini, hanya bisa berarti karena masa lalu. Bahkan mereka hanya ada di masa lalu: di sosok Hanuman, di rumah suci tua, dalam kitab yang jadi berhala. Di luar itu: puing, abu, mayat.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini