KUDETA itu bukan berlangsung di sebuah negara militer, tapi di sebuah perusahaan industri pesawat terbang yang selama Orde Baru jadi kebanggaan nasional. Karena itu, aksi kudeta oleh sekitar 5.000 karyawan PT Dirgantara Indonesia pada Senin pagi pekan lalu terasa menyentak walau tidak terlalu mengagetkan, karena tanda-tandanya sudah disuarakan sejak beberapa bulan lalu.
Pagi itu para karyawan berkumpul di depan Gedung Pusat Manajemen perusahaan. Ketua Forum Komunikasi Karyawan (FKK) PT Dirgantara Indonesia, Arif Minardi, menyerukan tuntutan anggotanya agar para direksi mundur dari jabatannya. Setelah itu, ratusan karyawan men-sweeping karyawan yang masih bekerja. Mereka juga mengusir para direksi dan manajer dari ruang kerjanya.
Hanya jajaran direksi yang bertahan di ruangannya, "Saya tidak akan keluar. Saya akan tetap bekerja di sini," kata Djusman Safe'i Djamal, direktur utama perusahaan itu. Adapun karyawan lain akhirnya bergabung dengan pengunjuk rasa atau memilih pulang. Setelah dua jam aksi sweeping itu, seluruh kegiatan perusahaan kedirgantaraan itu pun lumpuh total. "Kami mengambil alih seluruh pengendalian operasional dan manajemen perusahaan," ujar Arif.
Sore harinya, sempat muncul tindakan balasan dari direksi, berupa turunnya surat skorsing untuk Arif Minardi dan A.M. Bone, Sekretaris FKK. Surat yang ditandatangani Direktur Umum dan SDM, Kusnadi Djatiyuwono, itu menyebut skorsing merupakan sanksi awal sambil menunggu sanksi pemecatan yang diajukan perusahaan ke Depnaker mendapat persetujuan. "Aksi mereka sudah anarkis," ujar Djusman.
Namun boro-boro menghiraukan skorsing itu, selain meneruskan aksi, pada hari Rabu Arif dan Bone malah memimpin sebuah delegasi ke Jakarta untuk menemui Menneg BUMN Laksamana Sukardi. Tujuannya tetap, menuntut pergantian Direksi PT Dirgantara Indonesia.
Adakah soal genting yang membuat mereka ngotot dengan tuntutan itu? Menurut Arif, direksi tidak mampu mengelola perusahaan secara benar dan transparan. Dia menyodorkan 18 poin daftar kecurangan pejabat perusahaan, antara lain penggelembungan dana pembelian komponen pesawat yang mencapai 100 persen, dan penggelembungan agency fee penjualan delapan pesawat CN-235 ke Korea. Dalam kasus tersebut, FKK mensinyalir jutaan dolar masuk ke kantong pejabat perusahaan.
Selain itu, Arif juga menunjuk adanya pos dana pengeluaran lain-lain dari audit BPKP tahun 1997 dan 1998 yang tak jelas pertanggungjawabannya. Pada neraca 1997 angka pos itu sebesar Rp 506 miliar, sementara tahun 1998 sebesar Rp 642 miliar. Butir lain bukti FKK adalah soal pengiriman pesawat yang tak pernah tepat waktu. Berdasarkan data mereka, pengiriman pesawat selalu mengalami pengunduran 12 hingga 24 bulan.
Semua tuduhan itu jelas dibantah direksi. Soal pos pengeluaran lain-lain, misalnya, menurut Djusman, merupakan pengembalian penyertaan modal pemerintah untuk program N-250. "Angkanya di pos pengeluaran lain-lain karena ketika diterima dari pemerintah masuknya ke pos pemasukan lain-lain," tuturnya. Adapun soal kelambatan penyerahan pesawat pesanan lebih banyak disebabkan persoalan teknis yang bisa dipahami pembeli.
Bantahan itu dianggap angin lalu oleh karyawan. FKK baru menghentikan "kudeta"-nya Kamis lalu, ketika Laksamana Sukardi berjanji memproses tuntutan mereka dalam tiga bulan. "Waktu tersebut diperlukan untuk melakukan penilaian terhadap kinerja direksi, persiapan RUPS, dan mempersiapkan direksi baru melalui fit & proper test," kata Laks, seperti disampaikan Arif kepada Rinny Srihartini dari TEMPO.
Namun, menurut sumber Koran Tempo di Kantor Menneg BUMN, keputusan Laksamana itu tak 100 persen karena demo FKK. Kementerian Negara BUMN saat ini memang sedang menyusun rancangan likuidasi PT Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS), induk perusahaan 10 BUMN strategis, termasuk PT Dirgantara Indonesia. Dalam rancangan itu, diatur pula konsolidasi manajemen BUMN di bawah BPIS.
Begitupun, Arif mengaku tak berkecil hati. "Kami akan mengawasi janji Laks," katanya. Adapun Djusman menyatakan, Direksi Dirgantara Indonesia siap diganti jika itu keputusan akhir pemerintah dan sesuai dengan peraturan.
Prasidono L., Agung R., Zed A., dan Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini