Baru empat tahun Indonesia mendapatkan lagi kebebasan pers, sejak reformasi. Tidak banyak yang sempat mengingat kembali betapa buruknya kondisi media massa di bawah regulasi Orde Baru. Ditekan, dimanipulasi, dan tak jarang terjadi pemberangusan.
Mungkin juga orang sengaja lupa. Lebih baik berkonsentrasi pada kondisi baru daripada perhatian terpecah memikirkan masa lalu yang jelek. Secara kritis, pendirian ini kurang tepat. Sebab, bila ingin tidak terantuk lagi pada batu yang sama, tak boleh kita lengah karena melupakannya.
Mungkin memang orang sudah tak sudi menyisakan sel memorinya untuk mengenang pemeo sinis "hari-hari omong kosong" yang disingkat "harmoko". Akronim itu sama bunyinya dengan nama Menteri Penerangan Harmoko, yang bertahan dalam tiga masa kabinet Soeharto, tahun 1983 sampai 1997. Ini cuma gurauan masyarakat untuk menekan rasa mual yang timbul setiap menonton berita TV di masa itu.
Sekarang, yang masih ingin tak terganggu pencernaannya dari bawah sadarnya memilih menghapus ingatan tentang itu. Ini juga dijadikan semacam mekanisme defensif, mengelakkan frustrasi. Menyimpan ingatan itu jadi beban batin karena mengandung kontradiksi yang tak terselesaikan: tahu ada kesalahan, tapi juga tahu tak akan ada pemberesannya. Jadi, pura-pura tidak tahu saja, supaya ringan.
Konteks lelucon konyol itu dan segala peristiwa yang bersangkutan ikut terbuang juga dari arsip pikiran. Dengan yakin kini kita menyatakan bahwa Orde Baru adalah zaman represif, zaman kekuasaan otoriter. Untuk membuat sistem kekuasaan otoriter itu efektif, kebenaran mesti ditentukan penguasa. Bahkan apa yang nyata, realitas, adalah yang dibentuk oleh kekuasaan. Karena itu, informasi dan salurannya harus dimonopoli dan dikontrol penguasa.
Departemen Penerangan, terutama Menteri Penerangan, jadi bagian vital yang tak terpisahkan dari kekuasaan otoriter tersebut. Kontrol dijalankan dengan larangan, dengan mengatur izin, menjalankan sensor, dan memberangus. Begitulah, di zaman Harmoko, dengan Undang-Undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982 dan Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 Tahun 1984, kontrol dipercanggih dengan alat surat izin usaha penerbitan pers, lebih terkenal sebagai SIUPP.
Peluang materiel timbul dalam regulasi perizinan ini, yang berubah jadi sistem pemerasan dan pengisapan. Hasilnya: uang dan kekuasaan politik. Muncullah cerita-cerita tentang uang pelicin, setoran bulanan, upeti saham gratis, yang harus dikeluarkan oleh siapa yang membutuhkan SIUPP, atau untuk mempertahankan agar SIUPP tidak dicabut. Penikmatnya ialah birokrasi Departemen Penerangan, khususnya sang Menteri sendiri.
Yang dulu tak diungkap?karena tertekan ancaman penguasa?sekarang bisa dibeberkan. Tapi yang bersangkutan membantah dan berteriak: "Fitnah." Sebaliknya, yang menuduh berkata bahwa sangkalan itu bohong belaka. Silang selisih ini tak pernah selesai kalau tak diusut ujung-pangkalnya dan dicari buktinya. Inilah yang lalai dilakukan.
Diputuskan bahwa Orde Baru itu salah. Kalau ada kesalahan, pasti ada yang bersalah. Aneh, kita mudah menetapkan kesalahan tapi tidak risau karena tidak menemukan siapa yang harus bertanggung jawab. Padahal kerusakan akibat kesalahan regulasi media massa itu sangat parah, yang masih terasa sampai sekarang.
Masa lampau perlu diingat, bukan untuk mendendam, melainkan untuk bisa merumuskan dengan tepat apa yang salah. Bukan orangnya, melainkan terutama masalahnya. Tanpa menentukan kesalahan, segala hukuman, pengampunan, atau pernyataan tobat tidak ada dasarnya. Terlebih lagi, penentuan itu perlu untuk mencegah terulangnya pengalaman yang buruk.
Siapa sebenarnya yang lebih berdosa: yang membuat kesalahan, ataukah yang melupakan bahwa ada kesalahan yang pertanggungjawabannya harus dituntut pada yang bersalah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini