Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kasus Bukan Selebriti yang Minta Keadilan

Ketidakadilan yang dialami orang kecil sering menyadarkan perlunya perbaikan proses hukum.

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG narapidana menjalani hukuman, untuk kesalahan yang diyakini tak dilakukannya. Bukan Akbar Tandjung, yang minta banding dan tetap dihukum karena korupsi tapi masih jadi Ketua DPR. Tapi ini kisah orang kecil, Abdullah bin Andah dari Aceh. Hampir 14 tahun dia menghabiskan sisa hidupnya mendekam di penjara karena perkara pembunuhan berencana. Abdullah, yang buta huruf, tak bisa berbahasa Indonesia, kernet prahoto miskin di Meunasah, Blang Peuria, Aceh Utara, kena vonis penjara seumur hidup pada Desember 1989. Tapi Abdullah merasa tak ikut menculik dan membunuh bocah 9 tahun di kampungnya seperti yang dituduhkan. Dari penjara ia mohon banding, dan mengajukan kasasi. Semuanya ditolak. Barulah kemudian salah seorang pembunuhnya mengaku bahwa bukan Abdullah?melainkan Syukri?yang turut melakukan kejahatan itu. Lalu Abdullah menempuh upaya hukum luar biasa, meminta peninjauan kembali. Sial, Mahkamah Agung menolak permintaannya pada 1994. Sekarang Abdullah melanjutkan penderitaannya di lembaga pemasyarakatan Medan. Sementara itu, pelaku utamanya?Syaiful Bahri bin Sulaiman, berusia 18 tahun ketika peristiwa itu terjadi?sudah lepas dari penjara dengan pembebasan bersyarat. Sedangkan Syukri masih raib entah ke mana. Hukuman Abdullah memang sudah diubah karena mendapat remisi, menjadi penjara 20 tahun. Tapi bukan itu keadilan yang dipintanya. Dia ingin bebas karena dia tidak ikut menculik dan membunuh putra kesayangan Toke Nurdin demi memperoleh tebusan Rp 10 juta. Abdullah cuma kernet lugu gajian ayah Syaiful, remaja yang mengidamkan membeli sepeda motor dari uang tebusan itu. Ketika polisi memaksa menunjuk siapa yang membantunya, untuk gampangnya Syaiful menuding Abdullah saja. Kini Syaiful menyesal. Tapi, bagi Abdullah, upaya hukum sudah tertutup karena sudah semua terpakai. Ujungnya adalah permintaan peninjauan kembali, yang ditolak itu. Pengakuan Syaiful?demikian pendapat Mahkamah Agung?bukanlah unsur baru yang menimbulkan keadaan baru, karena kesaksian Syaiful pernah didengar di pemeriksaan pengadilan negeri sebelumnya. Mungkin hasilnya lain andai kata Syukri bisa tertangkap dan mengakui peranannya. Dengan kasus ini, kita disadarkan bahwa keperluan menegakkan kepastian hukum bisa berlawanan dengan kebutuhan menegakkan kebenaran dan keadilan. Upaya permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hukum hanya boleh dilakukan satu kali, kata undang-undang. Ini sejalan dengan asas ne bis in idem?jangan diulang pada yang sama?untuk semua perkara pada umumnya. Kalau perkara yang sudah diputus bisa diperiksa ulang setiap kali diminta, tentu kepastian hukum tidak terjaga. Tapi bagaimana bila benar ada fakta baru yang bisa ditemukan kemudian?sesudah peninjauan kembali?yang memang bisa meniadakan dasar keputusan yang dipakai dalam putusan pengadilan sebelumnya? Apakah demi kepastian hukum, yang rugi terkena putusan keliru akan dibiarkan jadi korban terus? Sebetulnya, hukum tidak pernah berniat membuat kebenaran dikalahkan oleh perlunya kepastian. Tapi hukum acara pidana yang ada memang tak bisa sempurna. Sulit merumuskan yang sekaligus adil dan memberi kepastian. Perkara Abdullah di Aceh ini bukan kasus selebriti, tapi menggugah kita untuk mencari celah keadilan dalam rumusan undang-undang yang tersedia. Perkara orang kecil jugalah, seperti kasus Sengkon dan Karta pada 1980, yang menghidupkan lagi lembaga herziening (peninjauan kembali) dalam proses peradilan kita. Kita tak berhak memastikan bahwa Abdullah sungguh tak berdosa. Tapi banyak alasan dan petunjuk yang mengharuskan semua mengusahakan agar dia tak menjadi korban segi lemah sistem pembuktian hukum kita. Sementara itu belum berhasil, untuk mengurangi penderitaan, ada baiknya proses pemberian grasi dipercepat baginya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus