Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya cukup senang saat Polri menggelar diskusi secara hybrid dengan tema “Kemerdekaan Pers dan Perlindungan Jurnalis” di Jakarta pada Rabu (31/5/2023). Diskusi tersebut diikuti Polda-Polda dan komunitas pers di berbagai daerah. Apalagi dalam sambutannya, pejabat Divisi Humas Polri yang membuka kegiatan, menyoroti kasus kekerasan terhadap jurnalis yang lebih dari 40 kasus setiap tahun. Pejabat tersebut mengutip data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Sayangnya pejabat Divisi Humas Polri tersebut tidak mengutip dengan utuh data AJI. Sebab, data AJI menyebutkan personel Polri merupakan pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang paling dominan dalam lima tahun terakhir. Pada 2018 sebanyak 14 kasus, 2019 (32 kasus), 2020 (55 kasus), 2021 (12 kasus), dan 2022 (15 kasus). Sebuah ironi, polisi yang semestinya melindungi jurnalis justru menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
Budaya Kekerasan dan Impunitas di Tubuh Polri
Salah satu contoh kasus yang melibatkan anggota polisi dan menjadi sorotan publik yaitu kasus penganiayaan terhadap jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi pada 2021. Kasus ini kemudian bergulir ke Pengadilan Negeri Surabaya dan dua polisi yang menjadi pelaku kekerasan yakni Purwanto dan Firman Subkhi divonis bersalah melanggar pasal 18 ayat (1) UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Keduanya dijatuhi hukuman 10 bulan penjara dan diwajibkan membayar restitusi kepada Nurhadi sebesar Rp 13.819.000 dan kepada saksi F sebesar Rp 21.650.000. Vonis terhadap dua terdakwa ini lebih rendah dari tuntutan JPU yakni 1 tahun 6 bulan penjara.
Namun, dalam tingkat banding, majelis hakim mengurangi hukuman kedua terdakwa menjadi delapan bulan penjara dan membayar restitusi kepada Nurhadi sebesar Rp 13.819.000 dan kepada saksi F sebesar Rp 21.650.000. Kedua terdakwa kemudian mengajukan perkara ini ke tingkat kasasi atau Mahkamah Agung. Meskipun pada akhirnya ditolak oleh Mahkamah Agung.
Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur juga menggelar sidang disiplin Brigadir Firman Subkhi. Kepolisian kemudian menjatuhkan hukuman teguran tertulis dan penempatan di tempat khusus selama 14 hari kepada terdakwa.
Polri terlihat melindungi anggotanya yang sudah menjadi terpidana pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Ini juga terlihat ketika jaksa melakukan eksekusi putusan Mahkamah Agung pada 31 Mei 2023. Namun tidak lama kemudian, Polda Jawa Timur menjemput kedua terpidana untuk dipinjam dengan alasan untuk memudahkan penyelidikan atau penyidikan dalam rangka sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri.
Dari kasus Nurhadi, kita mengetahui bahwa budaya kekerasan di tubuh Polri masih terus hidup. Meskipun telah memisahkan diri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI/TNI) sejak 1999. Parahnya, institusi ini terkesan melindungi dan memberi ruang kepada anggotanya yang sudah jelas-jelas menjadi terpidana.
Persoalan profesionalisme Polri
Dewan Pers telah memiliki Nota Kesepahaman dengan Kapolri tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers danPenegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. Nota Kesepahaman ini kemudian telah ditindaklanjuti dengan perjanjian kerja sama (PKS) tentang perlindungan kemerdekaan pers. Kendati demikian masih terdapat sejumlah kasus sengketa pemberitaan yang sudah selesai di Dewan Pers tetap dilanjutkan polisi kasusnya. Sebagai contoh kasus jurnalis Timurterkini.com Muhammad Irvan S yang ditetapkan tersangka dan ditahan oleh Polda Sulawesi Tenggara pada Mei 2022. Ia dinilai melanggar pasal 45 ayat (3) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait penghinaan atau pencemaran nama baik. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kendari kemudian menjatuhkan hukuman penjara pada September 2022 lalu. Padahal kasus ini telah ditangani Dewan Pers.
Kedua, komunitas pers kerap kesulitan melaporkan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis ke Polri. Sebagai contoh pelaporan kasus kekerasan yang dialami jurnalis Ternate Nurcholis pada September lalu. Ia dipingpong dari Direktorat Reserse Kriminal Umum dan Direktorat Reserse Kriminal Khusus. Hal yang sama juga pernah dialami jurnalis di Jakarta yang menjadi korban kekerasan saat ingin melapor ke Polda Metro Jaya. Ini artinya polisi belum memiliki mekanisme yang pasti terkait laporan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Adapun yang telah dilaporkan ke institusi kepolisian tidak banyak yang tuntas penanganannya. Hasil monitoring AJI Indonesia setidaknya terdapat 16 kasus yang dilaporkan ke polisi sepanjang 2022. Dalam lima kasus polisi telah menangkap terduga pelaku penyerangan dan satu kasus tidak ditemukan bukti. Namun, polisi tidak menggunakan pasal pidana dalam Undang-Undang Pers dalam empat kasus yang pelakunya telah ditangkap.
Apalagi kasus-kasus yang melibatkan anggota polisi kerap mangkrak di institusi Polri. Hanya ada satu kasus yang melibatkan polisi yang diproses hingga pengadilan dengan menggunakan UU Pers yaitu kasus kekerasan yang dialami jurnalis Nurhadi.
Belum lagi kasus-kasus serangan digital yang marak dialami jurnalis dan perusahaan media dalam beberapa tahun terakhir. Kasus ini tidak pernah tuntas meskipun telah dilaporkan ke polisi.
Reformasi Polri Harus Menjadi Agenda Wajib Bangsa
Budaya kekerasan dan buruknya profesionalisme Polri merupakan dua persoalan pokok yang menggerogoti institusi Polri. Utamanya dalam memberikan perlindungan terhadap warga negara, tidak terkecuali jurnalis yang memiliki peran vital dalam demokrasi.
Tidak hanya jurnalis, polisi juga menjadi pelaku kekerasan terhadap masyarakat sipil lainnya. KontraS mencatat telah terjadi 677 peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian sepanjang Juli 2021-Juni 2022. Kekerasan itu telah menimbulkan 928 jiwa luka-luka, dan 59 jiwa tewas dan 1240 ditangkap.
Lembaga pengawas Polri mulai dari Kompolnas hingga DPR tidak membuat lembaga ini menjadi lebih baik setelah 24 tahun memisahkan diri dari ABRI. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan MoU Kapolri dengan Dewan Pers seperti rompi anti-peluru yang bolong, yang belum maksimal melindungi jurnalis. Regulasi-regulasi yang bagus tapi masih di atas kertas.
Untuk itu, masyarakat sipil perlu bersatu padu untuk memikirkan kembali reformasi Polri secara menyeluruh. Bagaimana memastikan budaya kekerasan hilang di tubuh Polri. Mulai dari pendidikan, pengawasan, dan penegakan hukum bagi polisi perlu dipikirkan ulang kembali.
Masyarakat sepertinya agak sulit jika harus menentukan agenda reformasi Polri kepada DPR maupun pemerintah. Mengingat kewenangan Polri yang begitu besar pada hari ini, yang tidak jauh berbeda dengan ABRI pada masa orde baru.
Karena itu, masyarakat sipil yang harus merumuskan bagaimana menjadikan Polri yang profesional, ramah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap warga, termasuk jurnalis. Bukan sebaliknya menjadi pelaku kekerasan yang dominan terhadap jurnalis.
Baru kemudian, gambaran Polri yang ideal tersebut kita sodorkan kepada pemerintah dan DPR. Termasuk kepada para calon presiden dan wakil presiden, serta calon legislatif sebagai kontrak bangsa yang menghargai demokrasi dan kemerdekaan pers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini