Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIBUAN buruh turun ke jalan, 1 Mei silam. Mereka bukan berencana membuat huru-hara atau pemogokan massal, melainkan sekadar menuntut agar Hari Buruh dijadikan hari libur nasional. Sungguh disayangkan, pemerintah tampaknya tak tahu bagaimana menanggapi aspirasi itu sehingga, di Sura-baya, yang terjadi adalah bentrokan antara buruh dan polisi yang mengakibatkan sejumlah orang menderita luka-luka.
Padahal insiden kecil itu sebenarnya tak perlu terjadi. Tuntutan para pekerja itu suatu hal yang wajar. Nyaris semua negara maju di dunia merayakan Hari Buruh, kendati tak selalu pada tanggal yang sama. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan persepsi di kalangan serikat buruh tentang manfaat dan cara merayakan hari istimewa mereka. Di Amerika Serikat dan Kanada, misalnya, libur nasional ini dilakukan pada setiap Senin pertama bulan September, dan serikat buruh memanfaatkannya untuk melakukan parade yang meriah. Tradisi ini dimulai sejak 1882 di kota New York sebagai bentuk penghargaan pada peran buruh di masyarakat. Itu sebabnya suasana peringatannya lebih mirip karnaval yang meriah ketimbang gerakan politik atau protes. Mereka yang bukan aktivis gerakan buruh biasanya malah memanfaatkan libur ini sebagai hari piknik keluarga di ujung akhir musim panas.
Sebaliknya, di negara komunis atau sosialis, perayaan dilakukan setiap 1 Mei, yang dianggap sebagai permulaan musim semi di Eropa. Cara perayaan sangat kental bernuansa sebagai gerakan protes atau politik. Maklum, penentuan 1 Mei sebagai hari buruh internasional memang dilakukan pada suasana sangat politis, yaitu Kongres Sosialis Internasional, 1889.
Di Indonesia, setidaknya 1 Mei lalu, agaknya kombinasi kedua cara itu yang dilakukan. Para buruh turun ke jalan menuntut agar Hari Buruh dijadikan hari libur nasional. Pemerintah, terutama Departemen Tenaga Kerja, seharusnya menanggapi aspirasi ini dengan serius. Soal libur tampaknya memang sebuah keniscayaan, tapi mengenai tanggalnya mungkin dapat didiskusikan.
Untuk meminimalkan nuansa politis dari permintaan ini, ada baiknya perayaan hari pekerja bukan berdasarkan tanggal, melainkan jatuh pada hari Senin, misalnya saja Senin pertama bulan Juni, sehingga para orang tua punya satu hari ekstra untuk bercengkerama bersama keluarga di saat para pelajar sedang libur. Atau, kalaupun para pengurus serikat buruh ingin memanfaatkannya untuk melakukan parade, kegiatan itu dapat dipersiapkan dengan baik. Dengan demikian, Hari Buruh tak perlu lagi diasosiasikan sebagai hari yang menakutkan karena macetnya jalanan dan kemungkinan terjadinya huru-hara, melainkan sebagai waktu untuk menikmati parade. Kalau bisa, tentu parade yang menarik untuk tontonan keluarga, bahkan menjadi atraksi turis.
Jika acara ini tetap ingin dimanfaatkan sebagai gerakan protes bernuansa politis pun bukan berarti mesti dilaksanakan dalam ingar-bingar yang menakutkan. Buktinya di Bali, pulau yang menjadi pusat pariwisata nasional, para pengunjuk rasa lokal malah sudah terbiasa melakukan protes politik dalam bentuk karnaval yang meriah, tertib dan asyik ditonton. Sebagian besar dari mereka adalah buruh yang faham bahwa unjuk rasa yang menakutkan para turis ujung-ujungnya akan merugikan diri mereka sendiri.
Kearifan ini jelas perlu ditiru. Kebanyakan kita adalah buruh—sebab, perbedaannya dengan kata "pekerja" hanyalah soal semantik belaka. Karena itu, menjadikan Hari Buruh sebagai hari libur nasional bukanlah ide buruk. Lantas, mengapa tidak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo