Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mengapa Harus Samudra?

Masalahnya bukan Samudra layak atau tidak layak, tapi pengangkatannya sebagai Direktur Utama Garuda sungguh tidak segendang dan sepenarian dengan rentak dan derap reformasi.

6 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH pelantikan Direktur Utama Garuda—yang terlambat satu minggu—semata-mata terjadi karena surat pengangkatannya belum diberi nomor? Kalau benar cuma urusan nomor, mengapa harus menunggu berhari-hari? Sementara itu, orang yang akan dilantik terkesan begitu yakin bahwa ia pasti dilantik. Dan orang itu adalah Samudra Sukardi, kakak kandung Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi.

Samudra disebut-sebut telah lulus fit and proper test (uji kepatutan dan kepantasan) dengan nilai paling tinggi. Seorang anggota DPR ikut menambahkan informasi tentang peluang Samudra menjadi direktur utama setelah mendapat bocoran di kalangan Kantor Menteri Negara BUMN. Bahkan Samudra sendiri memastikan bahwa dialah yang akan dilantik sebagai Direktur Utama Garuda dan upacara untuk itu pun telah dijadwalkan Rabu pekan ini.

Tapi anggota DPR yang lain tiba-tiba mempertanyakan seberapa sahih tes uji kepatutan yang dilakukan atas diri Samudra. Dia pun mengusulkan agar hasil fit and proper test itu dipaparkan secara transparan. Mengapa? Mungkin agar masyarakat yakin bahwa uji kepatutan dan kepantasan telah dilakukan sesuai dengan prosedur, sehingga masyarakat mengetahui bahwa Samudra lulus karena memang dia layak untuk lulus, bukan karena dia kakak kandung Menteri Negara BUMN.

Dalam sistem demokrasi presidensial yang telah teruji seperti di AS, dua bersaudara kandung memang secara bersamaan dibenarkan menjabat dua posisi penting dalam jajaran eksekutif dan yudikatif. Ada contoh untuk itu, yakni pada awal era 1960-an, ketika John F. Kennedy menjabat sebagai presiden dan Robert Kennedy sebagai jaksa agung. Realitas bagi-bagi posisi itu bisa diterima, tapi tak urung suara-suara di masyarakat mencerminkan adanya kekhawatiran bahwa "penumpukan dua wewenang yang begitu penting pada dua bersaudara kandung" sebenarnya tidak sehat. Timbul pertanyaan: bagaimana seorang adik yang menjadi jaksa agung bisa menjalankan tugasnya dengan baik bila kakak kandungnya sendiri bertakhta di singgasana kepresidenan? Paralel dengan itu bisa dipertanyakan: bagaimana Laksamana dapat menjadi bos yang baik bagi kakak kandungnya, Samudra, yang katakanlah akhirnya ditunjuk sebagai Direktur Utama Garuda?

Masih ada sederet pertanyaan lain, misalnya bagaimana Samudra bisa dengan lugas memperbaiki kinerja Garuda bila mutu kinerja itu bisa dikompromikan dengan adiknya, Laksamana. Lalu, apakah ada jaminan bahwa kasus pemakaian uang Garuda—seperti yang terjadi pada masa jabatan presiden terdahulu—tidak akan terulang? Sementara itu, kita akan memasuki periode panas sebelum Pemilihan Umum 2004, yang merupakan masa krusial bagi penyalahgunaan berbagai posisi basah, tak terkecuali jabatan nomor satu di Garuda. Kemungkinan ini memang bisa dibantah sekeras-kerasnya, tapi siapa yang mau percaya? Selain itu, mengapa Garuda harus dipimpin oleh orang dalam Garuda seperti Samudra, sedangkan proses penyehatan keuangan BUMN itu sebelumnya sudah dapat dirintis oleh dua orang luar, yakni Robby Djohan dan Abdulgani?

Memang, di masa Orde Baru, bisa saja Tutut diangkat menjadi menteri oleh bapaknya, Presiden Soeharto. Kemudian Presiden B.J. Habibie tak mau kalah dan ia pun mengangkat anaknya, Ilham Akbar Habibie, sebagai Wakil Presiden IPTN. Tapi sekarang tak ada lagi Orde Baru dan jarum jam tidak bisa diputar balik. Sebagai penonton, masyarakat bingung karena di satu sisi Presiden Megawati tegas-tegas mengharamkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, tapi di sisi lain Laksamana Sukardi menjustifikasi pengangkatan kakaknya, Samudra Sukardi, sebagai Direktur Utama Garuda. Tentu kita tidak meragukan kemampuan Samudra, tapi alangkah baiknya bila kemampuan itu didarmabaktikan di tempat lain saja, bukan di Garuda. Masih cukup ruang di bawah kolong republik ini untuk orang berpengalaman dan berpendidikan tinggi seperti Samudra. Percayalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus