Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUKA yang belum lagi kering itu kembali mengalirkan darah. Jika tak cepat diobati, tanah Ambon—yang tidak bisa lagi disebut manise—pelan tapi pasti kembali ke zaman gelap, zaman jahiliah, ketika nyawa manusia nyaris tak ada harganya. Sebagian dari kita mungkin mulai bosan (atau terbiasa) dengan cerita tentang orang mati hampir tiap hari di sana, frustrasi, barangkali mulai kesal mengapa Tuhan belum juga mengirim juru selamat ke sana.
Ya, tiba-tiba saja Desa Soya diserang puluhan orang berpakaian ala ninja, yang melempar bom, membakari rumah, dan menewaskan 12 orang. Ada yang bilang penyerang malam itu sangat terlatih, cekatan, bertindak cepat. Sampai hari ini, kelompok ninja itu belum bisa diidentifikasi. Kejadian 28 April lalu itu seakan sambung-menyambung dengan ketegangan antara Penguasa Darurat Sipil (dipimpin Gubernur Latuconsina) dan kelompok Republik Maluku Selatan—kelompok yang menginginkan kemerdekaan Maluku, yang sudah nyaris mati ditelan sejarah.
Kedua kejadian itu berkaitan? Ini pertanyaan mudah yang sulit kita jawab. Yang sudah pasti cuma ini: betapa konflik yang dipicu oleh seorang sopir angkutan kota yang Kristen dengan pemuda Bugis yang Islam sudah menjelma menjadi konflik multidimensi. Hampir semua urusan mendadak jadi hal yang bisa menyulut pertengkaran: batas wilayah, agama, isu birokrasi yang tidak adil, RMS, apa pun….
Mereka yang senang dengan teori konspirasi mungkin bisa saja mengait-ngaitkan keduanya, memakai rumus utak-atik gathuk. Tapi jawaban yang salah bisa mendatangkan solusi yang menyesatkan. Dan ini artinya bencana Ambon yang sudah berlangsung sejak 1999 dan menewaskan 8.000 jiwa (menurut Kontras) itu bisa semakin parah.
Di antara pilihan solusi yang terdengar dari Jakarta, disebut-sebut soal pemberlakuan darurat militer. Kita tahu, jika darurat militer diberlakukan, penguasa militer akan menerapkan semua aturan militer untuk menguasai keadaan. Jam malam sangat mungkin diberlakukan. Sweeping dijalankan. Kondisi begini jelas rawan pelanggaran atas hak asasi manusia. Lagi pula, bukankah kita harus belajar dari sejarah? Pemberlakuan daerah operasi militer di Aceh telah menelan korban begitu banyak, tapi adakah Aceh bisa "ditenangkan" sampai hari ini? Tidak.
Menurut majalah ini, darurat militer bukanlah jawaban yang tepat untuk menyelesaikan konflik di Ambon. Menyelesaikan konflik melalui cara-cara militer hanya akan mematikan kekuatan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri. Biarlah masyarakat mengupayakan perdamaian dengan dialog, negosiasi, kompromi, dan serangkaian cara yang lebih "beradab". Aparat militer boleh berperan membantu pelucutan senjata, menjaga agar konflik baru tak muncul, dan melakukan upaya antisipatif yang lain.
Kami menyarankan agar pemerintah kembali ke apa yang sudah dihasilkan perundingan Malino untuk Ambon—sebut sajalah Malino II. Sebelas poin janji damai yang dihasilkan di Malino pada Februari lalu ada baiknya mulai dicoba diterapkan kembali. Semua harus diulang lagi, dari awal, bagai mengurai benang kusut.
Tidak mudah, memang, apalagi konflik sudah melibatkan pemain baru, yaitu RMS. Tapi bukankah masyarakat Ambon sudah lelah bertikai, seperti kata para pemimpin informal mereka? Kelompok Islam dan Kristen seharusnya kembali dipertemukan. Dan untuk poin-poin krusial dicarikan solusi bersama-sama.
Poin krusial bisa datang dari banyaknya laskar bersenjata di Ambon. Kebanyakan laskar di kedua pihak itu datang dari luar daerah dengan dalih merasa "umat"-nya terancam. Yang harus dilakukan aparat, terutama aparat keamanan, adalah menyingkirkan perasaan terancam itu. Ini bisa dilakukan jika aparat sendiri tidak berpihak kepada yang bertikai seperti yang terjadi sejak konflik meletus. Pergantian aparat keamanan bisa menjadi jalan keluar yang harus ditempuh.
Setelah itu, barulah persoalan lain bisa mulai dijalankan: pelucutan senjata. Jika tahapan ini saja sudah tercapai, separuh pekerjaan rasanya sudah beres, mungkin luka di Ambon sudah berhenti mengalirkan darah. Baru tahap rehabilitasi selanjutnya bisa dikerjakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo