DI kedai Starbucks Coffee, Jakarta, duit 30 ribu perak cuma cukup buat membeli secangkir kopi. Tapi, di pedalaman Kalimantan Timur, itulah gaji sebulan buat para guru kontrak. Tengoklah nasib Sakiyah, pengajar honorer di Sekolah Dasar Negeri 027 Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Kutai Kertanegara.
Mengajar bahasa Inggris enam hari seminggu, tiap bulan Sakiyah memang cuma digaji Rp 30 ribu. Padahal pekerjaannya sungguh berat. Tiap hari, untuk sampai ke sekolahnya, gadis berusia 24 tahun ini harus berjalan kaki sejauh enam kilometer, mendaki bukit, melalui jalan setapak yang di musim hujan berubah jadi kubangan lumpur.
Langkah Sakiyah dimulai tahun lalu. Lulus sebagai sarjana dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Samarinda, ia melamar menjadi guru. Sudah sejak dulu dadanya memang disesaki semangat untuk mengabdi mengajar anak-anak di Teluk Dalam. Kuliah menyadarkannya, rendahnya pendidikanlah yang jadi penyebab utama ketertinggalan daerahnya. Sebelum para transmigran tiba di tahun 1970-an, Teluk Dalam masih hutan belukar. Keluarga Sakiyah sendiri adalah transmigran dari Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Kebetulan saat itu Teluk Dalam sedang kekurangan tenaga pengajar. Maka, Sakiyah pun melamar. Ketika tahu gajinya hanya Rp 30 ribu, Sakiyah tak surut langkah meski honornya itu "cuma cukup buat membeli odol, sabun mandi, sampo, dan sikat gigi". Untung, ia masih tinggal bersama orang tua sehingga bisa bertahan hidup. Untuk makan sehari-hari, ia bergantung pada hasil ladang garapan sang ayah.
Sakiyah, juga ratusan guru kontrak lain yang senasib dengannya, adalah ironi Kabupaten Kutai Kertanegara, yang merupakan salah satu wilayah terkaya di negeri ini. Di sinilah berbagai raksasa tambang dunia beroperasi. Sebut saja Kelian Equatorial Mining ataupun Kaltim Prima Coal (KPC), yang menghasilkan batu bara terbaik di dunia. Menurut Noke Kiroyan, Direktur Utama KPC, setiap tahun perusahaannya menggelontorkan US$ 1,5 juta?sekitar Rp 13,5 miliar?kepada pemerintah daerah untuk dana pengembangan masyarakat. Lalu, ke mana larinya duit segunung itu?
Bupati Kutai, Syaukani H.R., pernah berpidato berbusa-busa bahwa sumbangan itu akan disalurkan dalam Gerakan Pengembangan dan Pemberdayaan Kutai, yang konon ditujukan untuk memajukan warga, tempat setiap desa bakal dikucuri dana Rp 2 miliar.
Tapi begitulah. Seperti biasa, itu cuma janji kosong. Bu Guru Sakiyah tetap saja bergaji Rp 30 ribu. Hingga kini ia masih tinggal di gubuknya, yang dindingnya berbilah papan lapuk dan karenanya amat leluasa diterobos angin dingin, yang kian tampak reot setelah harga kembali melonjak-lonjak. "Untuk meringankan orang tua, di waktu senggang saya ikut bertani," tuturnya. Sakiyah cuma berharap suatu hari nanti, entah kapan, ia bisa diangkat menjadi guru tetap.
Melihat hal memiriskan itu, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Profesor Suyanto, berpendapat sudah saatnya pemerintah daerah dan anggota Dewan Perwakilan Kutai membuat terobosan, misalnya dengan merancang peraturan daerah yang menjamin nasib guru kontrak. Sungguh tak adil, kata Suyanto, jika birokrat lokal seperti anggota Dewan digaji sekitar Rp 2,5 juta sebulan, sementara guru kontrak yang bekerja jungkir-balik cuma dihargai sekian puluh ribu perak. "Jika begitu, bagaimana mungkin kualitas sumber daya manusia di daerah meningkat?" ujarnya, gemas.
Di benak Suyanto, idealnya guru di daerah terpencil digaji tak kurang dari anggota Dewan. Soalnya, selain medannya sulit sehingga tak banyak orang yang bersedia diterjunkan ke sana, kebutuhan hidup di pedalaman juga lebih mahal. "Di zaman Orde Baru, guru di pedalaman mendapat tunjangan hingga 300 persen gaji," kata Suyanto, getir, "Masa, setelah reformasi, mereka malah cuma digaji Rp 30 ribu."
Iwan Setiawan, Rusman (Kutai)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini