Sepanjang pekan silam, aksi yang menentang kebijakan kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, dan telepon, meluas ke berbagai ibu kota provinsi di Indonesia. Protes yang semula terkendali belakangan memuncak dalam luapan amarah kepada Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz. Selain membakar patung kedua tokoh tersebut dan menginjak-injak fotonya, para pengunjuk rasa juga menuntut mereka mundur. Aksi protes pun mencatat hal-hal baru: ada penyanderaan truk tangki BBM (di Makassar), penyegelan simbolis kantor Pertamina, PLN, dan Telkom (di Yogyakarta), dan demo buruh bersama pengusaha (di Jakarta). Masyarakat juga melihat eskalasi protes yang mengejutkan, misalnya dalam peristiwa saling pukul antara polisi dan mahasiswa di depan Istana Merdeka.
Mengapa terjadi eskalasi? Mungkin hal itu erat kaitannya dengan sikap Megawati yang tidak mau bergeser satu sentimeter pun dari kebijakan menaikkan harga. Di mata wong cilik, sikap ini mewakili sosok kepemimpinan yang merasa benar sendiri dan mau menang sendiri. Sedangkan dalih Hamzah Haz bahwa kebijakan diambil bersama oleh pemerintah dan DPR justru semakin memicu kecurigaan bahwa pemerintah berupaya cuci tangan alias melempar tanggung jawab.
Sikap tanpa kompromi Megawati mungkin akan diterima bila kenaikan harga bisa dipertanggungjawabkan secara sosial ekonomi, maupun secara moral. Secara ekonomi, katakanlah, kebijakan itu "sudah tepat", tapi dari sisi sosial dan moral, ada hal-hal yang layak dipersoalkan. Memang, dari pencabutan subsidi BBM, pemerintah menghemat puluhan triliun rupiah, tapi di saat yang sama, dana milik rakyat yang pas-pasan juga ikut terkuras. Penurunan kualitas hidup rakyat pun tak terelakkan, dan itu terjadi karena pencabutan subsidi BBM telah melambungkan tarif jasa dan harga kebutuhan pokok sebanyak 15 sampai 20 persen.
Jelaslah, karena efek berganda itu, kebijakan harga seperti tidak memiliki sandaran moral. Sekarang ini saja sekitar 2,5 juta nelayan mendadak kehilangan sumber penghasilan, hanya karena lonjakan harga solar (dari Rp 1.555 menjadi Rp 2.100 per liter) membuat mereka tak bisa menangkap ikan ke laut. Biaya solar membengkak, sehingga ujung-ujungnya mereka rugi. Bencana serupa juga menimpa penjual jasa angkutan dan orang-orang yang mencari nafkah dari industri rumah kecil-kecilan.
Semua itu agaknya di luar perhitungan tim ekonomi pemerintah, yang begitu yakin bahwa rakyat akan cepat menyesuaikan diri dengan kenaikan harga. Rakyat yang terbiasa hidup menderita itu diyakini mampu mengusung beban ekonomi yang lebih berat lagi, sampai kenaikan harga membawa mereka pada hidup yang lebih baik. Celakanya, pemerintah sendiri tidak berusaha mengimbangi pengorbanan rakyat, katakanlah dengan berhemat, membatasi kunjungan ke luar negeri, menumpas pungutan liar, memastikan dana kompensasi sampai utuh ke tangan yang berhak, dan di atas itu semua, mencari solusi yang jitu untuk lingkaran setan BLBI dan obligasi rekapnya.
Lemahnya penegakan hukum?tecermin pada surat release and discharge untuk konglomerat?juga ikut "menggembosi" kebijakan harga. Megawati boleh saja tegar seraya mempertahankan kebijakan itu dengan stimulus fiskal, peringanan dan restitusi pajak, serta paket kebijakan lainnya. Tapi, selagi birokrasi yang adil, bersih, dan tepercaya belum kita miliki, para petinggi seharusnya peka dan peduli, dan tidak sok gengsi sehingga tak sudi meninjau kembali kebijakan harga. Atau tidak mau mencari alternatif lain yang kurang menyakitkan bagi rakyat.
Akhirulkata, agar situasinya tidak semakin panas, polisi diharapkan bisa menahan diri bila menghadapi para pengunjuk rasa, yang mungkin kembali beraksi pekan-pekan ini. Dikhawatirkan, jika tidak hati-hati, bukan hanya bangunan ekonomi yang rapuh ini akan kolaps, tapi juga bangunan politik reformasi yang goyah bisa ambruk seketika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini