Peristiwa yang bisa digolongkan pada contempt of court terulang kembali. Seorang pencari keadilan nekat melemparkan sepatunya ke meja hakim (TEMPO, 15 Agustus, Hukum) Kita seharusnya merasa prihatin terhadap masalah yang makin sering terjadi itu. Namun, dalam hubungan itu, amatlah bijak pendapat Hakim Agung Bismar Siregar, S.H., yang menyatakan bahwa seseorang yang melakukan contempt of court belum tentu bisa dipersalahkan. Penilaian terhadap kasus itu seharusnya memang seperti dikatakan Hakim Agung tersebut. Sebab, sistem hukum yang berlaku di Indonesia juga mengenal sebab-akibat (kausalitas). Jadi, penilaiannya harus mengikutsertakan sebab-sebab, jangan hanya melihat akibat yang ditimbulkan saja. Penilaian yang hanya dari sudut akibatnya saja akan sangat subyektif sekali sifatnya. Bahkan kekurangan dalam menilai masalah tersebut akan dapat berpengaruh terhadap perkembangan hukum di tanah air tercinta ini. Selama ini, kita semua belum mengetahui secara jelas perbuatan penghinaan terhadap lembaga peradilan, apakah hanya karena seseorang yang sedang beperkara dan merasa tidak puas kemudian mengajukan protes di depan hakim di persidangan sudah dapat dianggap melakukan perbuatan penghinaan terhadap lembaga peradilan. Misalnya, dalam kasus Terdakwa Arto di PN Probolinggo, Ja-Tim (TEMPO, 25 Juli, Hukum), dapatkah hakim yang memvonis perkara itu dinilai telah melakukan contempt of court? Karena itu, sebaiknya undang-undang tentang contempt of court segera diciptakan. Sehingga, berdasarkan UU itu, dapat dilihat siapa serta apa sajakah yang dapat digolongkan dalam perbuatan penghinaan terhadap lembaga peradilan. Sebab, bila tak terdapat dalam peraturan perundangan yang jelas, penilaian atas perbuatan penghinaan terhadap lembaga peradilan makin timpang saja. GANANTO NEGARAWAN, S.H. Semolowaru Tergah X/4 Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini