Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Heboh Ripuh Lady Gaga

28 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUNGGUHNYA, apa yang dikhawatirkan dari seorang Lady Gaga? Begitu banyak urusan yang jauh lebih krusial di negeri ini, tapi terlalu banyak mulut berisik meributkan konser penyanyi ini. Bukan hanya mereka yang berwenang yang direpotkan konser Lady Gaga, The Born This Way Ball, yang—entah jadi entah tidak—direncanakan digelar pada 3 Juni mendatang. Tidak kurang dari para menteri, anggota parlemen, beberapa gelintir organisasi, bahkan Majelis Ulama Indonesia, merasa tahu dan harus ikut angkat bicara.

Sesudah tiket terjual 52 ribu lembar, pro-kontra semakin meningkat. Alasan mereka yang menentang konser Lady Gaga adalah sang penyanyi pemuja setan yang dikhawatirkan akan menghipnotis penonton, dan pertunjukannya menghina agama serta menyajikan pornografi. Semua itu dianggap akan merusak ”moral bangsa”. Tapi tak disebut bagian mana dari lagunya yang memuja setan, pertunjukan yang mana yang menghina agama, dan pertunjukan atau klip video mana pula yang menyajikan pornografi.

Lady Gaga memang bukan penyanyi biasa. Ia artis, seniman. Dia menciptakan lagu, mendesain visualisasi lagu, dan membangun citra di atas panggung. Citra yang diciptakan sengaja kontroversial dan senantiasa mempunyai daya ledak. Misalnya, Lady Gaga selalu mengenakan kostum yang aneh, baik di atas panggung maupun dalam acara penghargaan musik. Pernah ia memakai kostum yang terbuat dari potongan daging mentah, atau pernah juga dia masuk ke dalam telur raksasa dan ”keluar” dari telur itu setelah di panggung.

Tingkah sensasional seperti ini merupakan hal biasa yang dilakukan banyak penyanyi atau rocker untuk menunjukkan identitasnya, ”sidik jari”-nya di dunia hiburan. Lirik lagu Lady Gaga juga menjadi persoalan karena dianggap merangkul lesbian, gay, dan transgender. Bagian inilah—sebetulnya sudah pernah dilakukan oleh penyanyi Madonna—yang tampaknya diartikan sebagai vulgar atau pornografis, atau memuja setan. Tapi apa benar sebuah pertunjukan hura-hura sepanjang beberapa jam ini bisa mengubah moral seseorang? Bukannya moral seseorang sudah terbentuk oleh pendidikan orang tua dan lingkungan? Apa benar setiap calon penonton Lady Gaga akan kerasukan setan?

Tentu saja para penentang konser Lady Gaga berhak bersuara, dan berhak tidak menyukai. Tapi mereka tidak berhak menghalangi, bahkan memaksa polisi melarang sebuah konser. Salah satu akar problem konser ini adalah soal perizinan di Indonesia yang terlalu banyak melibatkan pihak yang tak ada urusannya dengan keamanan. Di negeri ini, perizinan konser, yang masuk kategori keramaian, merupakan keputusan polisi. Tapi polisi mendapat masukan dari sebuah tim yang melibatkan institusi seperti Kementerian Agama, Kementerian Pariwisata, Majelis Ulama Indonesia, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Untuk sebuah pertunjukan, mengapa instansi yang terkait dengan soal keimanan dimintai rekomendasi? Mengapa pula polisi yang memegang kewenangan terakhir harus mendengarkan pihak-pihak ini? Harus diingat, Indonesia pada hakikatnya bukan negara yang berdasarkan satu agama. Tapi belakangan, selain masalah konser Lady Gaga, pemerintah sudah terlalu lama membiarkan organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan agama bertingkah laku sewenang-wenang, bahkan sampai pada tindakan menghakimi.

Seharusnya pemerintah mulai menegakkan peraturan yang jauh lebih sehat, wajar, dan rasional. Pertama, keputusan perizinan harus ada di tangan pemerintah, dalam hal ini polisi, bukan instansi agama—apalagi ormas. Kedua, seperti yang dilakukan di beberapa negara di Asia dan beberapa konser—yang lebih kecil—di Jakarta, pemerintah bisa memberlakukan pembatasan usia bagi penonton konser dengan artis seperti Lady Gaga atau (kelak) Madonna, atau artis yang lirik lagu dan pertunjukannya lebih layak untuk penonton dewasa.

Di beberapa tempat pertunjukan di Jakarta, penyelenggara sudah berinisiatif memberlakukan batasan usia dengan mewajibkan calon penonton menunjukkan kartu tanda penduduk ketika memesan tiket. Seharusnya tak sulit bagi pemerintah daerah dan polisi mengeluarkan aturan tersebut bagi konser (atau pertunjukan) yang memang hanya layak ditonton oleh mereka yang sudah berusia dewasa.

Dengan menyerah pada tekanan organisasi kemasyarakatan dan pihak-pihak yang menentang, semakin terlihat bahwa pemerintah dan polisi sungguh lemah dan tak mempunyai otoritas. Padahal seorang Lady Gaga tak akan bisa membuat moral seseorang roboh seketika melalui sebuah konser hiburan belaka.

berita terkait di halaman 34

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus