Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPALA daerah yang pernah dibui karena korupsi bisa kembali bertakhta. Mimpi buruk ini segera datang jika skenario bekas Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamuddin berjalan mulus. Meringkuk di penjara, tokoh Partai Demokrat itu belum menyerah. Ia malah menggugat keputusan presiden yang mencopotnya dari jabatan gubernur.
Anehnya, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta merespons positif gugatan sang terpidana. Majelis yang dipimpin hakim Syarifuddin memberikan putusan sela yang memerintahkan penundaan atas pengangkatan Wakil Gubernur Junaidi Hamsyah sebagai gubernur definitif. Dalihnya demi menghindari komplikasi masalah bila nanti Agusrin memenangi gugatan sehingga berpeluang menjadi gubernur lagi. Apalagi terpidana mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Langkah nekat ini masih pantas dilakukan andai Agusrin dihukum karena kejahatan ringan atau kasus politik. Faktanya, dia divonis empat tahun penjara oleh majelis kasasi di Mahkamah Agung lantaran perkara korupsi. Ia dinyatakan bersalah dalam kasus penyelewengan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan sekaligus bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Negara rugi sekitar Rp 20 miliar.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah tepat menerbitkan dua keputusan presiden berkaitan dengan perkara ini. Sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, kepala daerah diberhentikan permanen jika bersalah dalam kasus yang diancam hukuman lima tahun atau lebih. Syarat lain, putusannya harus sudah berkekuatan hukum tetap. Agusrin masuk kriteria ini karena sudah divonis kasasi. Korupsinya pun diancam hukuman berat, minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
Anehnya, Presiden Yudhoyono membuka ruang buat kompromi. Tidak sepatutnya Kepala Negara bersedia berdiskusi dengan Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum Agusrin, membahas konsekuensi putusan sela itu. Sebaiknya Presiden tak usah bertemu dengan pihak yang beperkara. Putusan kasasi juga sesungguhnya sudah cukup untuk memastikan kesalahan seorang terdakwa, sehingga tak perlu lagi ragu-ragu mencopot Agusrin sebagai gubernur yang bertugas sampai 2015 itu.
Seorang kepala daerah seharusnya merasa malu dan mundur sejak menjadi tersangka kejahatan keji seperti korupsi. Jika fatsun politik ini dikedepankan, kurang relevan lagi berdebat soal tafsir ketentuan besarnya ancaman hukuman kasus yang berimplikasi pemberhentian pejabat. Agusrin menafsirkan hukuman yang mengancamnya cuma empat tahun atau berdasarkan hukuman minimal. Dengan begitu, keputusan presiden tentang pemberhentian dirinya dianggap keliru. Padahal ancaman hukuman maksimal bagi Agusrin adalah 20 tahun, sehingga memenuhi syarat untuk diberhentikan.
Hakim tata usaha negara seharusnya menampik sejak awal gugatan Agusrin karena tidak masuk materi yang bisa diperkarakan di pengadilan ini. Dalam Undang-Undang tentang PTUN dinyatakan keputusan yang merupakan pelaksanaan ketentuan undang-undang tidak termasuk sebagai sasaran gugatan. Karena itu, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu segera memeriksa hakim Syarifuddin. Apalagi perkaranya diputus bersamaan harinya dengan pengajuan berkas gugatan. Hakim juga sama sekali tak menanyakan pokok perkara dengan para tergugat.
Entah apa jadinya jika hakim benar-benar memenangkan gugatan terpidana. Agusrin akan bisa memimpin Bengkulu lagi kalau dia juga menang dalam peninjauan kembali kasus korupsinya. Modus baru ini tentu segera ditiru puluhan bupati dan gubernur yang kini mendekam di bui karena menilap duit negara. Ini berarti lonceng kematian bagi upaya pemberantasan korupsi, khususnya yang dilakukan kepala daerah.
berita terkait di halaman 94
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo