Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUBLIK membutuhkan hijau tidak lagi sekadar untuk mewarnai, tapi juga buat merayakan gagasan global. Kebahasaan hijau membawa pesan politis sampai ekologis.
Majalah Tempo edisi 6-12 Agustus 2018 memuat laporan utama ihwal upaya Joko Widodo melenggang lagi di putaran panggung politik. Laporan bertajuk “Joko Royo-royo” tertulis di sampul majalah berlatar karikatur Jokowi membelitkan sorban di kepala ulama tak berwajah. Dalam bahasa Jawa, royo-royo adalah penegasan untuk kata ijo (hijau). Di sini, royo-royo menganalogikan pemilih muslim atau kekuatan Islam serta suara ulama. Masih mengacu pada imajinasi agraris, (ijo) royo-royo memasuki wilayah politik.
Namun dunia ekologi konservasi modern memang paling fasih meletakkan hijau dalam misi besar menjaga bumi. Istilah hijau, penghijauan, menghijaukan, go green, atau kembali ke hijau adalah peristiwa dunia yang berpatok pada kedigdayaan sains. Ada klorofil atau pigmen hijau sebagai zat vital yang menyerap cahaya matahari untuk proses biologis tetumbuhan yang penting. “Hijau” yang dihasilkan tidak hanya bermanfaat bagi umat tumbuhan sendiri, tapi juga bagi semua makhluk di bumi.
Kita bisa mendata pelbagai komunitas lingkungan yang menyematkan istilah hijau sebagai penanda identitas. Ada Green Map System atau Peta Hijau yang tersebar di wilayah-wilayah kecil dunia. Di Indonesia, Peta Hijau diperkenalkan pakar perkotaan Marco Kusumawijaya pada 2000 (Memetakan “Hijau” Kota, Nirwono Joga dkk., 2012). Tidak hanya berpikir tentang pelestarian kawasan hijau atau keanekaragaman hayati, Peta Hijau juga bergerak ke persoalan gaya hidup sehat, di antaranya lewat tata bertransportasi, potensi sosial-budaya lokal, kelola sampah, makanan organik, dan ekowisata. Hijau menjadi mantra gaya hidup urban yang cenderung melekat di kelas menengah ke atas.
Penyematan penghargaan Nobel Perdamaian 2004 pun mengingatkan kita pada perempuan paling “berhijau” di Kenya. Wangari Maathai telah menanam sekitar 30 juta pohon dan memelopori Gerakan Sabuk Hijau (GSH) atau The Green Belt Movement (1977). Dalam buku Gerakan Sabuk Hijau (Wangari Maathai, 2012), dibabarkan bahwa GSH benar-benar menggerakkan masyarakat sipil kelas akar rumput, terutama perempuan sebagai pihak yang paling dirugikan oleh hilangnya kesuburan lingkungan, yang berarti kehilangan air, sumber pangan, dan pekerjaan. Wangari sampai berani berkonflik dengan pemerintah Presiden Moi, yang justru berkolaborasi dengan para elite korporat perusak lingkungan. GSH bagi Wangari- menghendaki dua hal sekaligus: revolusi hijau dan revolusi sosial.
Iklan layanan masyarakat sejak 1970-an di majalah Tempo berdaya pada penyajian emosi kata, bukan sekadar keunggulan teknis informasi. Dalam Tempo edisi 1 Februari 1992, tampil iklan layanan masyarakat bertema lingkungan yang dipersembahkan majalah Tempo bersama Santoro Inc. Yang perlu dihijaukan lagi bukan hutan gundul atau dataran gersang. Kota justru paling gawat membutuhkan asupan hijau: Kehidupan yang berpacu, menimbulkan semakin banyak/ sumber pencemaran, limbah industri, asap pabrik,/ sampai rumah tangga,/ asap kendaraan bermesin/ serta terkikisnya jalur hijau di perkotaan./ Kadang kita lupa bahwa yang ada, hanyalah sisa./ Alam yang lusuh dan kelabu./ Akankah kita biarkan begitu?/ Sisihkan kesadaran nurani kita untuk menjaga harmoni alam ini. Dalam nuansa ekologi yang murung, sama sekali tidak ada warna hijau dalam ilustrasi iklan itu, yang menampilkan daun rapuh dan anak kecil sebagai simbol kehidupan.
Di majalah Tempo edisi 10 Juni 1989, hijau dipakai untuk menganalogikan hal yang sangat jauh dari masalah lingkungan. Berita pembajakan tenaga profesional bank tampil berjudul “Yang Berlari ke Padang Hijau”. Terjadi eksodus tenaga profesional dari bank asing ke bank swasta nasional menyangkut perubahan gaji, jabatan, dan fasilitas. Hal ini menaut ke pepatah “rumput tetangga selalu lebih hijau”. Dituliskan bahwa bankir “lebih suka berpindah ke padang yang rumputnya lebih hijau”. Ini negasi atas istilah “masih hijau” yang berarti belum berpengalaman dan cenderung ingusan. Dunia perbankan, yang menyimbolkan pekerjaan urban dan kemakmuran ekonomi di kehidupan mutakhir, ternyata masih sangat membutuhkan perumpamaan dari jagat alam tradisional.
Hijau sebagai kata dan tindakan telah menyampaikan peristiwa sekaligus gagasan besar. Dalam perayaan lokal sampai internasional, bobot hijau sangat bisa setara dengan globalisasi, toleransi global, digitalisasi, revolusi, terorisme, bahkan komunisme.
*) Esais, anggota tim penulis Semaian Iman, Sebaran Pengabdian (2018)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo