Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA pemerintah membenahi struktur premi dengan menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan langkah tepat walau agak terlambat. Keputusan itu semestinya sudah dilakukan tak lama setelah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bergulir, tanpa harus menunggu selesai pemilihan presiden.
Langkah pemerintah menunda penyesuaian premi karena merupakan keputusan tidak populis terbukti memperburuk keadaan. Sistem jaminan sosial yang beroperasi lima tahun lalu itu telah membuat arus kas BPJS tekor Rp 3,3 triliun, setahun sejak program berjalan. Angka defisit bertambah menjadi Rp 9,1 triliun pada 2018 dan diperkirakan melonjak hingga tiga kali lipat pada akhir tahun ini.
Defisit itu muncul karena pemerintah tidak konsisten menjalankan skema asuransi yang dianut program ini. Banyak pejabat, termasuk politikus, membicarakan skema jaminan kesehatan seolah-olah sebagai fasilitas penuh dari negara. Timbul kesan BPJS Kesehatan harus menanggung seluruh biaya pengobatan dan perawatan tanpa terkecuali.
Persepsi keliru itu terjadi bertahun-tahun. Tak aneh bila tunggakan terus menggunung karena sejak awal jumlah premi lebih rendah daripada penghitungan aktuaria. Sedangkan jumlah peserta program ini tiap tahun terus bertambah. Skema lebih besar pasak daripada tiang ini mengabaikan pengelolaan risiko yang ketat sebagaimana seharusnya bisnis asuransi kesehatan dioperasikan.
Dengan skema asuransi, selain berhak mendapat jaminan pembiayaan, masyarakat punya kewajiban membayar premi yang masuk akal. Jika tidak, sampai kapan pun, penerimaan BPJS tak akan pernah cukup untuk menutup seluruh biaya pembayaran dokter, obat, dan pelayanan rumah sakit peserta jaminan ini. Di tengah keterbatasan fiskal, cita-cita pemerintah menjamin hak setiap warga negara mendapat pelayanan kesehatan tentu ada batasnya.
Di sinilah pentingnya pemerintah mengatur ulang jenis pelayanan pengobatan dan perawatan yang layak ditanggung, serta mengidentifikasi celah penyelewengan dalam penyelenggaraan program JKN. Banyak peserta program ini yang hanya mendaftar ketika sakit—dan menunggak setelah sehat.
Pekerjaan rumah itulah yang harus diutamakan karena kenaikan iuran peserta plus subsidi pemerintah untuk para penerima bantuan iuran tidak akan pernah cukup menutup seluruh biaya pelayanan yang harus dibayar BPJS Kesehatan. Terlebih bila semua jenis penyakit masuk skema penjaminan.
Pemerintah harus lebih selektif dan rasional dalam menentukan penyakit yang layak memperoleh tanggungan. Penyakit yang jelas-jelas timbul karena pola hidup tidak sehat, misalnya kanker paru yang diderita pasien perokok, seharusnya tak perlu mendapat jaminan pengobatan. Di banyak negara, jaminan sosial hanya mencakup pelayanan perawatan kesehatan dasar.
Pengaturan ulang terhadap prinsip universal coverage merupakan solusi yang tak terelakkan di tengah timpangnya persebaran dokter spesialis dan rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap. Dengan membayar iuran premi yang sama, peserta yang menetap di pelosok memiliki peluang lebih kecil untuk bisa mengakses pelayanan ini. Tak memadainya kualitas pelayanan bisa membahayakan kesehatan peserta program.
Meredefinisi ruang lingkup penyakit dan jasa kesehatan yang memperoleh jaminan butuh keputusan politik. Presiden Joko Widodo harus berani mengumumkannya di depan publik. Pil pahit ini adalah harga yang harus dibayar agar program pelayanan sosial ini terus berkelanjutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo