Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hukum Rajam, ?Ta`zir?, dan Presiden

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Azyumardi Azra*) *) Guru besar Fakultas Adab dan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta PANGLIMA Laskar Jihad, Ja`far Umar Thalib, menjadi terkenal karena pasukan jihadnya di Maluku. Ditambah ketika ia menyatakan akan menghadapi Pasukan Berani Mati (PBM), yang akan membela Presiden Abdurrahman Wahid sampai titik darah terakhir, menjelang jatuhnya memorandum II DPR bagi sang Presiden, akhir April lalu. Tetapi, awal Mei, ia ditangkap polisi, konon bukan karena aktivitas Laskar Jihad-nya itu, melainkan karena Ja`far memerintahkan laskarnya menerapkan syariat Islam di Ambon. Persisnya, dengan memberlakukan hukuman rajam sampai mati terhadap salah seorang anggotanya, Abdullah, yang mengaku telah memerkosa seorang wanita setempat. Tidak jelas betul proses dan prosedur yang ditempuh para pemimpin Laskar Jihad sehingga sampai pada keputusan menetapkan hukum rajam bagi Abdullah. Tetapi, yang jelas, pelaksanaan hukum rajam itu menurut Kapolri Surojo Bimantoro melanggar hukum positif. "Itu pembunuhan," ujarnya kepada media massa. Karena itu, menurut Kapolri, Ja`far dituduh melanggar Pasal 359 KUHP tentang penganiayaan sampai meninggal, dan Pasal 156 KUHP tentang penyebaran rasa permusuhan. Alasan yang dikemukakan Kapolri ini mencerminkan adanya "konflik hukum" antara hukum positif nasional dan hukum Islam, yang semestinya diselesaikan lebih dahulu sebelum pelaksanaan syariat Islam dimungkinkan di wilayah negara-bangsa Indonesia. Konflik antara hukum nasional dan hukum Islam ini tampaknya disadari kalangan pimpinan Laskar Jihad. Seperti dilaporkan Republika (10/5/2001), mereka menyadari bahwa yang berhak melakukan hukum rajam adalah waliyul amri (pemimpin tertinggi, bisa khalifah, presiden, atau perdana menteri) dan orang yang ditunjuk dalam penetapan hukuman, yakni para hakim. Karena itu, Laskar Jihad semula mengakui tidak berwenang melaksanakan hukuman tersebut. Meski Indonesia bukan negara Islam yang bisa memberlakukan hukum Islam, sebenarnya pemerintah?lebih khusus lagi presiden, yang merupakan waliyul amri atau hakim?memiliki hak dan kekuatan ta`zir (discretionary power). Hak dan kekuatan ta`zir itu dalam konteks pelaksanaan syariat adalah apakah ia menerapkan hudud (hukuman khusus yang telah jelas ketentuannya dalam Alquran dan hadis sahih) atau tidak, jika syarat-syarat untuk memberlakukan hudud tidak terpenuhi. Dengan hak ta`zir, waliyul amri bisa menjatuhkan hukum dan hukuman mana yang paling mungkin mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Dalam logika fiqh, pada negara yang bukan negara Islam tetapi memiliki mayoritas penduduk beragama Islam seperti Indonesia, presiden dapat menerapkan ta`zir setelah menerima tawliyah (otoritas dan justifikasi keagamaan) dengan pemberian kedudukan sebagi waliyul amri dharuri bisy-syawkah, pemimpin tertinggi kaum muslimin karena alasan darurat, yakni karena Indonesia bukanlah negara Islam. Dengan pemberian tawliyah ini, kekuasaan dan hukum yang diterapkan presiden tidak hanya sah secara politis, tetapi juga secara fiqhiyah dan teologis. Presiden Sukarno, seperti diketahui, pernah menerima tawliyah ini dari ulama NU pada 1954. Sedangkan presiden-presiden selanjutnya, termasuk Abdurrahman Wahid, tidak atau belum menerima tawliyah semacam itu. Ini secara implisit dapat berarti bahwa tawliyah yang pernah diberikan kepada Bung Karno juga berlaku bagi presiden-presiden selanjutnya. Dan karena itu, menurut argumen fiqh, umat Islam wajib taat kepada presiden sebagai waliyul amri tidak hanya secara politik tetapi juga dalam bidang hukum. Saya kira argumen ini dipahami kalangan pemimpin Laskar Jihad. Tetapi kenapa mereka tetap melakukan hukum rajam tersebut? Ayip Safruddin, salah seorang pimpinan Laskar Jihad, menyatakan: "Berdasarkan perilakunya, Presiden Abdurrahman Wahid sudah masuk dalam kategori tidak wajib diikuti seluruh kepemimpinannya." Dengan demikian, kasus hukuman rajam yang diberlakukan Laskar Jihad di Ambon, sekali lagi, mencerminkan komplikasi-komplikasi di antara berbagai kerangka hukum yang sangat rumit di dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Karena itu, seperti dianjurkan Abdullahi Ahmed an-Naim dalam karyanya Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law (1990), diperlukan pengkajian dan perumusan ulang mengenai hudud, khususnya dalam konteks "cross-cultural, cross-religious, penological and sociological setting". Hal ini penting, tulis an-Naim, karena terdapat banyak perdebatan di antara ulama yang menimbulkan ketidakpastian, sehingga memunculkan potensi penetapan dan penerapan hudud secara tidak pas. Kasus hukum rajam di Ambon sekaligus mencerminkan sikap politis Laskar Jihad terhadap Presiden sebagai waliyul amri. Orang sulit menduga sikap Presiden Abdurrahman Wahid terhadap hukum rajam yang telah dilaksanakan Laskar Jihad. Tetapi, pada saat yang sama, Presiden ketika memberikan sambutan pada perayaan hari Waisyak mendukung pelaksanaan syariat--yang tentu saja akan mencakup hudud-- di Provinsi Aceh. Memandang kasus hukum rajam oleh Laskar Jihad di Ambon, konflik dan komplikasi hukum bukan tidak mungkin pula terjadi di Aceh atau di tempat mana pun ketika hukum Islam diberlakukan. Wallahualam bissawab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus