Bambang Subianto *)
*) Mantan Menteri Keuangan
EKONOMI Indonesia sebetulnya sudah bangkrut pada awal 1998. Tetapi itu tidak terjadi karena pemerintahan Soeharto menetapkan kebijakan penjaminan: semua kewajiban bank di Indonesia dijamin oleh pemerintah.
Bila hal itu tak dilakukan, akan banyak bank yang dilikuidasi. Seandainya hal itu terjadi, para penabung dan deposan akan dirugikan. Jumlah uang yang bakal diterimanya tak akan sebesar yang mereka simpan di bank, itu pun harus menunggu sekian tahun. Bank harus melunasi kewajibannya dulu kepada pemerintah dan karyawannya. Jelaslah bahwa dengan skenario seperti itu, kerugian yang terjadi pada mulanya merupakan kerugian privat, bukan kerugian publik.
Kondisi ini akan membuat para penabung dan deposan panik dan akan membawa konsekuensi masalah sosial. Belum lagi, para pensiunan tak bisa mendapatkan haknya karena dana pensiun tertahan di sana. Perusahaan-perusahaan (sektor riil) pasti akan bangkrut karena tidak bisa bayar gaji. Maka, bangkrutnya perbankan dengan kerugian yang pada awalnya merupakan kerugian privat kemudian sangat berpotensi membawa efek terjadinya problem sosial yang sangat berat, yang social-cost-nya sangat besar.
Karena ada penjaminan, ekonomi tidak jadi bangkrut pada awal tahun 1998. Tetapi penyelamatan dengan penjaminan juga tidak gratis. Ada social cost-nya, yaitu jumlah dana masyarakat yang ada pada bank yang ditutup dan direkapitalisasi. Berapa jumlahnya? Sulit dicari karena banyak yang sudah ditutup.
Walaupun demikian, kita masih bisa membuat taksiran. Jumlah dana masyarakat di perbankan pada awal tahun 1998 sekitar Rp 375 triliun. Jumlah aset pada bank-bank yang ditutup dan direkapitalisasi sekitar 80 persen dari keseluruhan aset perbankan Indonesia. Kalau diasumsikan hubungan linear atau proporsional antara asset dan liability, across banks, diperkirakan jumlah dana masyarakat di bank-bank yang ditutup dan dilikuidasi juga sekitar 80 persen dari total dana masyarakat di perbankan Indonesia, atau lebih-kurang Rp 300 triliun. Jumlah sekian ini sebenarnya sudah hilang dengan matinya bank-bank tempat dana tersebut tersimpan.
Dengan kebijakan penjaminan, pada dasarnya pemerintah mengatakan bahwa dana Rp 300 triliun tadi tidak hilang. Sedangkan bank yang seharusnya sudah mati hanya bisa membayar bunga para deposan dari penghasilan bunga yang diperolehnya dari pemerintah. Berapa besarnya? Pada tahun 1998, ketika tingkat bunga pasar mencapai rata-rata 70 persen, beban bunganya adalah Rp 210 triliun. Karena pemerintah belum bayar bunga pada tahun 1998, jumlah Rp 210 triliun tadi ditambahkan pada pokok. Jadilah jumlahnya Rp 510 triliun. Dengan tingkat bunga pasar rata-rata mencapai 25-30 persen, beban bunga tahun 1999 adalah Rp 140 triliun. Di tahun itu juga pemerintah belum bayar bunga obligasi, maka jumlah beban bunga tadi ditumpukkan lagi pada pokok, sehingga totalnya menjadi Rp 650 triliun.
Nah, social cost yang semula Rp 300 triliun membengkak lebih dari dua kali lipat. Angka sekian tidak beda dibandingkan dengan jumlah obligasi yang diterbitkan sampai dengan akhir 1999. Jadi, social cost dari penjaminan adalah Rp 650 triliun, per akhir 1999. Beban tersebut belum dibayar, tetapi masih diutang. Berarti di tahun 2000, 2001, dan seterusnya masih harus dibayar bunga atas social cost tersebut.
Ilustrasi di atas, penulis berikan untuk menggambarkan beban yang harus ditanggung APBN. Sebab, kerugian yang semula merupakan kerugian privat kemudian beralih ke pundak pemerintah menjadi beban publik. Apakah social cost yang ditanggung pemerintah itu bisa dihilangkan? Bisa kalau mau. Kalau penjaminan dibatalkan, berarti dibatalkan pula semua obligasi yang pernah diterbitkan pemerintah dalam rangka rekapitalisasi perbankan dan penutupan bank, sehingga beban bunga sekitar Rp 50 triliun-60 triliun tidak harus dipasang di APBN. Kembali situasi ini akan menimbulkan problem sosial dengan konsekuensi ada social cost yang akan terpaksa dipikul oleh masyarakat dan pemerintah. Sebaliknya, bila penjaminan tetap diteruskan, beban bunganya tetap harus dibayar.
Dengan penjaminan pemerintah atas kewajiban bank di Indonesia, ekonomi Indonesia sebenarnya hanya bisa hidup karena pemerintah membayar bunga obligasi. Dengan penjaminan, pada dasarnya pemerintah membeli waktu agar ekonomi Indonesia tidak bangkrut pada awal tahun 1998. Tetapi karena pemerintah membeli waktu dengan cara tidak kontan, pemerintah harus bayar bunganya. Kalau kita menyia-nyiakan waktu yang dibeli dengan mahal itu, sementara upaya memulihkan ekonomi berjalan lambat dan dihadapkan pada hambatan-hambatan politis, hukum, dan psikologis, ya memang bisa konyol akhirnya.
APBN kita sekarang ini bukan APBN yang biasa lagi, bukan seperti APBN yang biasanya digunakan untuk memberikan stimulus fiskal. APBN Indonesia adalah nyawa dari perekonomian Indonesia. Para eksportir akan bisa sukses, usaha-usaha skala menengah dan kecil bertumbuhan hanya bisa terjadi selama APBN-nya masih bisa membayar kewajiban utang. Kalau tidak bisa bayar, semuanya akan bangkrut.
Nilai tukar yang tinggi hanyalah refleksi dari penilaian pasar mengenai kemampuan pemerintah dalam mengamankan pelaksanaan APBN. Karena itu, upaya intervensi tidak akan membuahkan hasil selama persepsi pasar mengenai keamanan APBN tidak dipulihkan. Demikian pula pengetatan uang beredar sehingga bunga naik, yang dampaknya adalah tambahan beban pada APBN yang akan semakin memperbesar kans jebolnya APBN.
Yang dibutuhkan sekarang bukanlah hujat-menghujat. Pemerintah sendiri, yang sangat terlambat mengakui bahwa pemulihan ekonomi terancam, juga harus mengerti bahwa APBN sekarang ini adalah nyawanya ekonomi Indonesia. Menyelamatkan APBN dengan melakukan revisi APBN jangan diartikan sekadar mengubah angka-angka sasaran penerimaan dan pengeluaran saja. Menyelamatkan APBN berarti menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kebangkrutan dan keambrukan. Yang diperlukan adalah suatu rangkaian kebijakan yang komprehensif dan utuh yang bisa diterima masyarakat, yang memungkinkan pasar menilai bahwa jajaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah memahami permasalahannya dan telah menemukan jalan keluar yang realistis. Kalau ini bisa dilakukan, sangat besar kemungkinan bahwa nilai tukar akan membaik.
Memang, merumuskan kebijakan yang seperti itu bukanlah perkara mudah. Tetapi memang di situlah diuji kualitas kepemimpinan sebagai dirigen yang mampu memotivasi agar orkestranya bisa bermain sebagai satu kesatuan yang utuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini