Harkristuti Harkrisnowo*)
*) Ahli hukum pidana dari UI
SEBUAH proses peradilan pidana, masuknya satu tindak pidana ke dalam proses hukum, tak akan berhasil tanpa adanya partisipasi masyarakat. Polisi tak bisa bertindak tanpa laporan dari warga, dan kasus akan berhenti bila tidak ada informasi lebih lanjut mengenai suatu kejahatan. Bila demikian halnya, kasus pun menjadi macet atau tersendat-sendat, seperti penyelesaian kasus-kasus besar sekarang ini. Tidak mengherankan jika publik pun lalu mempertanyakan kesungguhan para penegak hukum dalam memproses kasus tersebut.
Umumnya, para penegak hukum mencari pembenaran dengan mengatakan langkanya alat bukti untuk membawanya ke depan pengadilan. "...defendants can only be convicted on the basis of evidence. A criminal trial is founded on the presentation of admissible evidence with a view to persuading the tribunal of fact ?of the soundness or otherwise of the prosecution's case... ," demikian kata Malcolm Davies, Hazel Croall & Jane Tyrer (1995). Umumnya pula, alat bukti benda mati tidak banyak memberikan signifikansi terhadap pembuktian suatu kasus tanpa adanya keterangan saksi yang mendukungnya. Kejadian dalam beberapa masa terakhir ini menunjukkan bahwa tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan karena ketiadaan saksi untuk menopang tugas penegak hukum. Sayangnya, peran saksi dalam proses peradilan pidana sangat jauh dari perhatian penegak hukum, apalagi masyarakat.
Penelitian yang dilakukan Sentra HAM UI bersama ICW mengungkapkan bahwa biasanya orang enggan terlibat dalam suatu proses peradilan karena ini bukan pengalaman yang menyenangkan. Sejumlah saksi yang diwawancarai mengakui bahwa mereka tidak muncul karena ketakutan, diancam oleh tersangka, atau diperlakukan dengan tidak simpatik oleh petugas. Dugaan kasus-kasus pemerkosaan terhadap etnis Cina di Jakarta pada medio Mei 1998 sampai kini tidak pernah terungkap karena tiada satu pun saksi korban yang punya cukup keberanian dan ketegaran untuk melapor. Setumpuk berkas kasus korupsi tidak sanggup diselesaikan karena diancam dan diterornya para calon saksi. Apalagi kalau berkenaan dengan tindak pidana yang berat terhadap hak asasi manusia yang diduga dilakukan oleh kelompok yang mempunyai kekuatan, siapa yang berani jadi saksi?
Masalah utamanya adalah karena hukum tidak memberikan perlindungan kepada saksi. Yang ada malah ancaman pidana jika mereka tidak muncul ketika dipanggil (enam bulan untuk kasus perdata, dan sembilan bulan untuk kasus pidana). Tidak berlebihan jika hukum perlindungan saksi masih dianggap impian dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Padahal, tersangka atau terdakwa sudah cukup memperoleh hak-hak mereka dalam Pasal 50-68 KUHAP, sehingga dianggap bahwa "the pendulum has swung too far." Saksi, sebagai pihak yang memberikan kontribusi besar kepada terselesaikannya kasus pidana, tidak mempunyai hak khusus. Begitu pula (saksi) korban sebagai pihak yang langsung mengalami penderitaan karena adanya tindak pidana. Alasan bahwa negara telah mengambil alih peran korban untuk melakukan penghukuman terhadap pelaku sangat tidak dapat ditoleransi. Di manakah gerangan perginya equality before the law, yang katanya menjadi salah satu prasyarat dalam negara hukum?
Pada dasarnya, peradilan pidana bukanlah semata-mata mencari kebenaran yang tidak memihak, akan tetapi juga harus mencapai tujuan yang lebih tinggi, yakni keadilan, yang dimanifestasikan melalui hukum acara, yang berlaku untuk melindungi hak asasi semua orang tanpa kecuali. Maka, layaklah bila dituntut perlindungan yang seimbang bagi para pihak yang terlibat, baik tersangka/terdakwa, saksi, maupun korban tindak pidana.
Dilema dan kondisi yang dihadapi saksi sudah saatnya segera diselesaikan, agar proses peradilan dapat berjalan dengan lebih baik. Pada prinsipnya, ia haruslah merupakan seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan saksi dalam posisinya ketika diproses peradilan pidana, yang merupakan salah satu bentuk penghargaan atas kontribusinya dalam proses ini, dan tidak sekadar menjadi alat hukum.
Mengingat ada berbagai kelompok saksi, perlu dibedakan perangkat-perangkat hak bagi mereka. Misalnya, pertama, hak yang bersifat umum (bagi semua saksi dalam proses peradilan pidana). Bentuknya berupa hak atas penggantian biaya transportasi, hak mendapat nasihat hukum, diberi informasi mengenai perkembangan kasus, diberi tahu mengenai keputusan pengadilan, dan diberi tahu manakala terpidana dibebaskan.
Kedua, hak yang khusus untuk saksi dalam tindak pidana yang dilakukan dengan kekerasan, narkotik dan psikotropika, korupsi, tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia, dan yang dilakukan oleh pejabat publik. Bentuknya meliputi hak atas perlindungan keamanan pribadi dari ancaman fisik ataupun psikologis, hak untuk mendapat identitas baru, hak atas relokasi, hak atas kerahasiaan identitas, dan hak untuk tidak langsung hadir di pengadilan (misalnya memakai video-conference). Layak pula dipikirkan untuk memberikan hak-hak tersebut kepada keluarga atau orang terdekat saksi dalam hal-hal tertentu.
Ketiga, hak saksi korban, yakni untuk didengar pendapatnya dalam setiap tahap pemeriksaan (victim-impact statement), restitusi dari pelaku, hak untuk tidak didekati pelaku/kelompoknya dalam radius tertentu dalam tindak-tindak pidana tertentu. Khusus untuk korban tindak pidana kekerasan yang menimbulkan penderitaan fisik dan/atau psikologis yang berat, dapat diberikan bantuan medis, bantuan konsultasi psikologis, dan kompensasi dari negara.
Untuk menangani hal tersebut, diperlukan suatu lembaga perlindungan saksi sesuai dengan kewajiban negara memberikan rasa aman kepada warganya, mengingat begitu besarnya tanggung jawab negara untuk memberikan hak-hak pada saksi. Sebenarnya, semua hak dan lembaga di atas sudah dirumuskan dalam konsep Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, yang sudah ada di Departemen Kehakiman dan HAM. Masalahnya, apakah pemerintah sudah siap meluncurkannya ke DPR? Dan apakah DPR sudah siap untuk segera membahas dan memberlakukannya? Tampaknya kita, rakyat, hanya bisa menunggu....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini