Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berangsur-angsur legiun tentara asing meninggalkan Aceh, karena penanganan bencana (relief ope-ration) sudah mendekati penyelesaian. Memang di sana-sini masih ada mayat yang belum terevakuasi karena tertimpa reruntuhan bangunan dan lumpur, tetapi dapat dikatakan bahwa kebanyakan mayat sudah dikuburkan meski tak semuanya bisa dikenali. Pembersihan kota juga sudah memperlihatkan tanda-tanda kemajuan, terbukti dengan mulai menggeliatnya kehidupan sehari-hari. Dalam batas-batas tertentu pemerintahan daerah yang lumpuh sudah mulai menemukan semangat kerja dalam menghidupkan kembali birokrasi pemerintahan lokal. Alhamdulillah, Aceh mulai terselamatkan.
Ketakutan akan wabah penyakit menular yang menghinggapi pengungsi di tempat-tempat penampungan tampaknya tak terjadi. Relawan dan tim medis yang datang dari berbagai negara dengan sigap menolong para pengungsi yang hancur dan terluka akibat gempa dan tsunami. Orang-orang yang kehilangan keluarga yang mereka cintai dibantu dalam berbagai program trauma healing. Pokoknya, semua kerja kemanusiaan dilakukan oleh semua pihak tanpa hambatan apa pun. Kendala etnis, bahasa, budaya, dan agama tampaknya tak menghentikan kerja kemanusiaan yang dilakukan oleh banyak sekali relawan. Kita semua kagum dan tersentuh dengan spontanitas dan ketulusan yang ditunjukkan para pekerja kemanusiaan itu. Operasi kemanusiaan telah betul-betul melihat orang-orang Aceh sebagai human being.
KTP maupun kewarganegaraan tiba-tiba menjadi tak bermakna. Bayangkan, antipati terhadap orang Amerika Serikat dan Australia karena serangan mereka terhadap Irak tiba-tiba tak berbekas, dan orang-orang Aceh merasa sangat berterima kasih dengan bantuan makanan, minuman, dan obat-obatan yang datang dari pesawat helikopter yang sebentar-sebentar mendarat. Hussein Abdullah, 41 tahun, yang kehilangan seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, berkata, "Saya ini orang sederhana. Saya tak tahu tentang Irak. Yang saya tahu adalah saya butuh nasi untuk dimakan. Kalau Amerika dapat membantu kami, maka kami senang menerimanya." Sikap Hussein Abdullah ini adalah juga sikap orang Aceh kebanyakan yang putus asa mencari air dan nasi untuk menyambung hidupnya.
Tapi tidak semua orang berpendapat sama dengan Hussein Abdullah. Dalam beberapa kesempatan kita mendengar suara curiga terhadap kedatangan dan niat baik orang-orang asing ke Aceh. Ada nasionalisme sempit yang sama sekali tidak realistis. Ada kekhawatiran akan imperialisme agama dan budaya yang masuk bersama bantuan. Sehingga politik bantuan itu dianggap tidak tulus dan murni. Karena itulah pernah ada isu tentang pengkristenan dan perdagangan anak di Aceh. Karena itu pula ada isu tentang diskriminasi dalam penyaluran bantuan. Saya merasa bahwa isu tersebut terlontar secara tidak proporsional.
Bencana tsunami yang melanda Aceh, Malaysia, Thailand, India, dan Sri Lanka adalah bencana yang terbesar dan tak pernah terjadi sebelumnya. Semua warga dunia terpana dan berduka. Mantan Menteri Luar Negeri Amerika, Collin Powel, ketika berkunjung ke Aceh tak bisa membayangkan betapa hancur-leburnya Banda Aceh dan Meulaboh. Jumlah orang yang meninggal, yang awalnya diperkirakan 20 ribuan, sekarang telah lebih dari 120 ribu. Jika angka ini ditambah dengan jumlah orang hilang, angka itu bisa jadi mencapai 200 ribuan. Harap diingat bahwa mereka ini adalah orang yang tak terlibat perang seperti di Irak. Mereka adalah orang biasa yang tiba-tiba terjerat, terpukul, dan tak bisa menyelamatkan diri dari terjangan dahsyat tsunami. Kunjungan Collin Powel membuka mata banyak orang akan magnitude tragedi Aceh dan segera mengalirkan relawan dan bantuan dalam jumlah yang sangat besar.
Indonesia pun tersentak. Sesaat kita tak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah kelihatan bingung. Masuk ke Aceh saja hanya bisa sebatas Banda Aceh. Akhirnya pemerintah membuka pintunya bagi masuknya tentara dan relawan asing. Aceh tiba-tiba dipenuhi oleh tenda-tenda relawan asing. Di sini, meski kita tak pernah bicara tentang campur tangan atau intervensi asing, suka atau tidak suka kita sudah bicara tentang apa yang disebut sebagai humanitarian intervention.
Dalam literatur hak asasi manusia, kita memang mengenal istilah the right of humanitarian intervention dalam hal di suatu negara terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang brutal, kejam, dan massal. Terjadinya ethnic cleansing di Bosnia memungkinkan humanitarian intervention dilakukan. Pembunuhan massal di Rwanda membuka pintu humanitarian intervention. Pokoknya, tak boleh ada pelanggaran hak asasi manusia yang brutal, kejam, dan massal terjadi sehingga membahayakan manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Di sini tembok kedaulatan negara tak lagi menjadi absolut.
Soal kedaulatan negara sering menjadi hambatan dalam menyelamatkan manusia dan kemanusiaan dalam sebuah negara yang terlibat dalam perang internal, saling bunuh yang membahayakan suku tertentu, atau penindasan tentara terhadap lawan-lawan politiknya secara massal. Dalam hal ini Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, benar ketika dia mengatakan, "Apabila intervensi kemanusiaan dilihat sebagai serangan terhadap kedaulatan negara, bagaimana kita merespons situasi di Rwanda dan Srebrenika, ketika gross and systematic violations of human rights mengancam manusia dan kemanusiaan kita?" Pertanyaan Kofi Annan ini dijawab sendiri olehnya dengan mengatakan, "But surely no legal principle?not even sovereignty?can ever shield crimes against humanity." Dalam hal ini intervensi militer tetap menjadi pilihan terakhir, tetapi jika situasi memaksa harus ada intervensi, maka pilihan itu tak boleh dikesampingkan.
Tragedi Aceh bukanlah pelanggaran hak asasi manusia kasar dan sistematis seperti yang terjadi di Rwanda dan Bosnia, tetapi fakta telanjang menunjukkan betapa dahsyatnya dampak gempa bumi dan terjangan tsunami terhadap rakyat Aceh. Tragedi Aceh bukanlah kiamat tentunya. Namun tak pernah kita bisa membayangkan skala kehancuran yang sedemikian dahsyat. Jujur kita harus mengakui kita sendirian tak mampu menyelesaikan soal Aceh. Kita butuh bantuan dan uluran tangan masyarakat internasional.
Syukurlah, bantuan memang mengalir begitu banyak. Betapa banyak negara termasuk Afganistan yang datang membawa bantuan. Negara-negara donor pun menawarkan hibah dan penundaan pembayaran utang. Amerika, yang pada awalnya tidak menduga kedahsyatan bencana gempa dan tsunami ini, akhirnya menaikkan bantuannya menjadi US$ 350 juta. Tidak hanya itu. Amerika mengirim sebuah kapal induk, 20-an kapal angkatan laut, 45 pesawat dan 50 helikopter ke semua kawasan yang terkena bencana. Tidak kurang dari 14 ribu tentara Amerika yang terlibat dalam operasi kemanusiaan ini. Di CNN saya mendengar Presiden Amerika, George Bush, meminta Kongres menyetujui peningkatan anggaran bantuan kemanusiaan menjadi US$ 950 juta.
Negara-negara lain juga melakukan hal yang serupa dalam skala yang lebih kecil. Kita di Indonesia dalam semua keterbatasan kita juga melakukan hal yang sama. Barangkali belum pernah kita dipersatukan dengan sangat emosional seperti sekarang ini. Salut kita kepada semua pihak yang menyingsingkan celana dan lengan baju mereka di tengah terik panas Aceh. Saya kira, walaupun tragedi Aceh ini bukanlah pelanggaran hak asasi manusia brutal, kasar dan sistematis yang dilakukan oleh manusia, tetapi skala bencana yang begitu dahsyat memungkinkan terjadi suatu humanitarian intervention, diminta atau tidak diminta. Kita mesti berterima kasih dengan semua bantuan dan uluran tangan. Tak perlulah kita terlalu bercuriga dan marah. Dalam bencana, pada akhirnya, semua manusia harus bertanggung jawab tanpa membeda-bedakan bangsa, suku, agama, ideologi, maupun latar belakang budaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo