Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ibu Kota

Tanpa menunggu keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang siapa calon presiden yang memenangi pemilihan umum yang lalu, Joko Widodo langsung terbang ke Kalimantan Timur.

11 Mei 2019 | 07.20 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan kepada media usai menunaikan shalat tarawih di Masjid Darul Arqam, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa 7 Mei 2019. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putu Setia
@mpujayaprema

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanpa menunggu keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang siapa calon presiden yang memenangi pemilihan umum yang lalu, Joko Widodo langsung terbang ke Kalimantan Timur. Calon presiden petahana ini tak sabar melihat calon lokasi ibu kota negara yang baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jokowi langsung menuju Bukit Soeharto di Kabupaten Kutai Kartanegara. Pada sore itu pula rombongan terbang ke Kalimantan Tengah, menginap semalam di Palangkaraya, dan menuju Gunung Mas keesokan harinya. Ibu kota negara membutuhkan 40 ribu hektare lahan, dan di kedua calon tempat yang dikunjungi itu, luas lahannya masing-masing 80 ribu hektare. Lebih dari cukup.

Jokowi serius memindahkan ibu kota dari Jakarta. "Sejak tiga tahun yang lalu sebetulnya ini telah kita bahas internal. Kemudian satu setengah tahun yang lalu kami minta Bappenas untuk melakukan kajian yang lebih detail, baik dari sisi ekonomi, sosial-politik, maupun dari sisi lingkungan," ujar Presiden. Ini seolah-olah menepis tudingan isu bahwa pemindahan ibu kota dilakukan hanya gara-gara Jakarta sedang banjir.

Banjir di Jakarta memang menjadi salah satu alasan untuk memindahkan ibu kota. Alasan lain adalah daya dukungnya yang sudah tak memadai lagi. Itu terlihat dari kemacetan yang semakin parah. Kenapa tak dipindah dekat-dekat saja? Kalau masih di Pulau Jawa, Jokowi tampaknya enggan. Penduduk di Jawa, kata Jokowi, sebesar 57 persen dari total penduduk Indonesia.

Membangun ibu kota tentu tak mudah. Bukan sekadar membangun istana tempat presiden berkantor dan menetap, tapi juga harus membangun kantor-kantor kementerian. Tentu aneh bila menteri masih di Jakarta, lalu rapat kabinet harus menunggu menterinya yang ketinggalan pesawat. Menteri harus ada di ibu kota yang baru, termasuk staf, dan tentu semua karyawan. Juga keluarga mereka. Bayangkan berapa kantor kementerian yang harus dibangun, berapa rumah yang harus disiapkan, sekolah, tempat ibadah, tentu pula mal yang ada bioskop modernnya. Kalau ibu kota dengan suasana hutan, mana betah mereka.

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengingatkan, semua lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif harus pindah. DPR dan Mahkamah Agung juga harus pindah. "Lembaga itu selalu dikatakan letaknya di ibu kota negara," kata dia.

Kalla memprediksi ada 1,5 juta lebih orang masuk ke ibu kota di Kalimantan, entah Kalimantan sebelah mana, karena belum diputuskan. Ratusan ribu rumah untuk aparat sipil negara harus disediakan dan ini bukan sekadar rumah sederhana 36 meter persegi. Perumahan untuk wakil-wakil rakyat, baik parlemen maupun senator, bersama staf ahlinya, sudah jelas lebih dari 1.000 unit. Karena itu, Kalla memprediksi ibu kota ini baru berfungsi 10 atau 20 tahun lagi sejak diputuskan untuk dibangun. Jokowi jelas tidak menikmati istana baru di ibu kota negara sebagai presiden. Butuh dua presiden setelah Jokowi untuk melanjutkan ibu kota baru ini. Pertanyaan besarnya, bagaimana kalau presiden pengganti Jokowi berubah pendapat, urung memindahkan ibu kota ke Kalimantan? Kita punya banyak pengalaman bagaimana pemimpin pengganti tidak melanjutkan proyek pemimpin sebelumnya. Sebut saja pembangunan pusat olahraga terpadu di Hambalang, yang mangkrak sampai sekarang.

Karena itu, Jokowi perlu diingatkan jangan grasa-grusu memindahkan ibu kota. Undang pakar berbagai keahlian untuk diminta masukannya. Jangan sampai seusai peletakan batu pertama dan bangunan sudah setengah rampung, ada revisi kebijakan dari presiden pengganti Jokowi dengan alasan "dulu kajiannya kurang benar, terlalu dipaksakan". Kalau itu terjadi, sia-sia energi yang ada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus