RUPANYA seseorang, paling sedikit mesti keluaran Wina -- lengkap
dengan repertoir abad ke-19 -- baru boleh menangani sebuah orkes
simponi. Atau kalau tidak lihatlah Idris Sardi, sebagaimana
ditulis oleh Franki Raden (TEMPO, 31 Juli): penampilannya hanya
suatu lawakan, sembrono dan serba kekurangan lainnya. Saya
sungguh kaget membaca artikel tersebut, karena bukan demikian
kesan yang saya peroleh. Penyajiannya, dengan aneka ria musik
berbagai daerah dan yang digarap dengan tekun serta
bersungguh-sungguh, menurut saya nyaman menyegarkan. Satu jam
acara telah berlalu dengan cepat tak terasa.
Peduli apakah musik itu seni atau hiburan, keberanian Idris
Sardi menggunakan medium yang 'angker' untuk menghayatkan
musiknya pantas diberi semangat. Tapi rupanya telah membakar
jengot Franki, penulis kritik tersebut. Memang harus diakui
bahwa penampilan Idris belum mulus betul. Musiknya pun belum
sinkron dengan gerak, karena siaran tersebut adalah hasil
rekaman. Beberapa instrumen juga masih harus mencari posisinya
agar lebih harmonis sekalipun hal ini tak terlalu penting.
Soalnya ini hanyalah merupakan proses bagi Idris sebagai
konduktor, yang tentu saja meminta waktu lama. Sungguh mustahil
untuk mencap jerih payah salah seorang pemusik terbaik kita
sebagai 'lawakan' dan 'badutan'.
Lalu bagaimana seharusnya seorang dirigen'? Georg Solti,
pemimpin Simponi Chicago dan salah seorang dirigen terbaik di
dunia, suatu saat mau main di pusat pertokoan. Secara pribadi,
ia mendatangi kampus-kampus, mengajak para mahasiswa nonton
konser. "Boleh datang dengan bikini'?" tanya seorang mahasiswi.
"Selama engkau diam dan mendengarkan", jawab Solti. "Kami
memberi publik apa yang mereka suka", demikian manager Simponi
San Francisco. Tapi Antal Dorati menimpali: "Bukan urusan mereka
untuk mengetahui apa yang mereka suka. Itu adalah urusanku".
Dan Pierre Boulez pun, direktur musik New York Philharmonic
mengambil risiko dengan memainkan musik abad ini, dan dianggap
berhasil. Sederetan konduktor-konduktor muda muncul mengajak
penonton menikmati musik masa kini . Concerto for Amplified
Violin and Orchestra, tampil dengan biola yang dipasangi
amplifier. Bunyinya meraung-raung, dimainkan oleh Paul
Zukofsky, penggesek biola yang cemerlang. Tapi dengan dirigen
Michael Tilson Thomas yang tak kurang bakatnya, tampaknya
mereka masih harus menunggu sampai bisa diterima oleh publik
yang ternyata kemudian bersungut-sungut usai pergelaran.
Standar repertoir mereka: oke Siapa yang tidak mendambakan
Mahler di tangan Solti Berliotz oleh Seiji Ozaha atau Brahms
dibawakan oleh William Steinherg? Pemusik bule memainkan
repertoir bule, toh masih menunggu sampai publik tak lagi
bersungut-sungut. Padahal pemainnya pun yahud. Akan tetapi di
sini, mengapa pula kita masih membanding-bandingkan, kemudian
meributkan dan mempertanyakan tentang seorang pemusik pribumi
dengan repertoir pribumi, yang lagi memimpin sebuah orkes
simponi sebagai sesuatu yang tak pantas? Sungguh mencengangkan!
Dengan jujur saya mesti bilang bahwa pergelaran Idris Sardi
menyenangkan dan menarik -- tanpa ruwet memikirkan karyanya akan
termasuk dalam kategori apa. Para snob kita pasti mempunyai
banyak waktu untuk memikirkannya. Sementara itu, sebagai
ilustrasi boleh dikutip pernyataan Charles Wourinen, komposer
muda yang paling berhasil: "Jurnalis dan kritikus musik.
sebenarnya tak tahu apa-apa". Dan untuk Idris, barangkali
galaknya saja yang perlu ditambah, seperti kata Herbert Von
Karayan "tentu saja saya tiran -- good conductor mana yang
tidak....".
B. SONDAKH
Perumahan Wartawan, Cipinang Muara Blok I,
Jakarta Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini